Universitas Airlangga Official Website

Cina Kenakan Tarif Tinggi untuk Produk AS, Pakar UNAIR: Ini Bumerang bagi Amerika

Ilustrasi Impor Ekspor (Sumber: Trenasia.com)
Ilustrasi Impor Ekspor (Sumber: Trenasia.com)

UNAIR NEWS – Pemerintah Tiongkok resmi menetapkan tarif impor sebesar 34 persen untuk sejumlah produk asal Amerika Serikat, sebagai respons atas kebijakan proteksionisme yang terus digaungkan Presiden AS, Donald Trump. Menanggapi kebijakan ini, Pakar Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD menyebut langkah Cina tersebut sebagai respons reaktif sekaligus strategis dalam jangka panjang.

“Amerika selama ini defisit neraca perdagangan, terutama terhadap Cina. Bahkan sebelum Covid-19, defisitnya bisa lebih dari 1 triliun USD. Ketika merasa perdagangan tidak adil, Amerika menetapkan tarif tinggi, lalu dibalas oleh Cina. Padahal, justru Amerika sendiri yang berpotensi dirugikan dari kebijakan ini,” ujarnya.

Prof. Rossanto menekankan bahwa kebijakan saling balas tarif ini bisa berdampak serius terhadap supply chain global. Dengan banyaknya produk yang melewati beberapa negara dalam proses produksinya, tarif tinggi akan mendorong lonjakan harga barang secara drastis.

“Ambil contoh laptop. Komponennya diproduksi di Cina, prosesornya dari Amerika, lalu dirakit di Taiwan. Jika semua saling mengenakan tarif tinggi, harga akhir produk bisa melonjak hingga 100 persen,” jelasnya.

Menurutnya, kondisi ini bisa mendorong penyusutan perdagangan global hingga 50 persen jika terus berlanjut, mirip dengan peristiwa Great Depression tahun 1930-an.

Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD Pakar Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR). (Foto: Istimewa)

Perang dagang yang berkepanjangan ini juga dinilai akan berdampak langsung pada arus investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Ketidakpastian global akan mendorong investor untuk mengambil sikap ‘wait and see’.

“Investor akan menunda rencana ekspansi. Bahkan investasi portofolio pun akan bergeser ke aset safe haven seperti emas. Harga emas pun naik karena situasi ini,” ujar Rossanto.

Dalam jangka panjang, Prof Rossanto menilai bahwa Indonesia perlu bersikap adaptif dan terbuka untuk bernegosiasi. Ia mengingatkan bahwa ekspor Indonesia masih kecil dibanding negara ASEAN lain.

“Kalau kita membalas tarif tinggi dengan tarif tinggi pula, kita bisa rugi sendiri. Produk kita bisa dengan mudah digantikan dari negara lain. Kalau ekspor turun, produksi menurun, akan ada ancaman PHK, dan itu bahaya sosialnya besar,” tegasnya.

Ia menyarankan agar Indonesia tetap menjaga hubungan dagang strategis dengan Amerika, termasuk memanfaatkan skema GSP (Generalized System of Preference) selama masih tersedia.

Penulis : Rosali Elvira Nurdiansyarani

Editor: Khefti Al Mawalia