Universitas Airlangga Official Website

CLeP FH UNAIR Adakan Diskusi Soal Gender

Dr Dina Listiorini SSos MSi saat menyampaikan materi diskusi (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Center for Legal Pluralism Studies (CLeP) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) kembali mengadakan Lecture Series 3 pada Sabtu (19/8/2023). Diskusi kali ini mengusung tema “Mengenal Keberagaman Gender di Indonesia” dengan menghadirkan narasumber Dr Dina Listiorini SSos MSi, ketua satgas PPKS Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).

Dalam sesi pemaparan, Dina menjelaskan perbedaan antara konsep seks dan gender yang kerap disalahartikan. Menurutnya, konsep seks mengacu pada karakteristik biologis yang mengkategorikan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Sementara, gender berasal dari konstruksi sosial yang membedakan ciri, sifat, serta peran laki-laki dan perempuan.

“Gender adalah keberagaman karakteristik, sifat, peran, dan identitas secara sosial dan budaya. Konstruksi ini berdasar atas maskulinitas atau feminitas yang tidak melekat dan dapat berubah tergantung pada waktu, kelompok, dan lingkungan masyarakat,” tutur Dina.

Ia pun menyoroti persoalan gender di Indonesia yang masih dipahami secara biner, yakni laki-laki dan perempuan. Padahal, sebenarnya terdapat keberagaman gender lain di masyarakat.

Pemahaman Keberagaman Gender

Dosen ilmu komunikasi UAJY itu menekankan pentingnya membangun kesadaran mengenai keberagaman gender. Sebab realitasnya, ada berbagai ritus dan tradisi keberagaman gender yang melekat dalam budaya masyarakat. Di antaranya, lengger lanang (Banyumas), waria ludruk (Jombang-Surabaya), warok gemblak (Ponorogo), serta masih banyak lagi. 

Lanjutnya, tradisi tersebut kemudian mulai terkikis akibat adanya kolonialisme. “Konsep gender dan seksualitas pada masa kolonialisme berdasar atas agama dan nilai-nilai modern,” imbuh Dina.

Ia menyebut ideologi patriarki mempunyai andil besar terhadap pandangan masyarakat modern. Ideologi tersebut mendefinisikan laki-laki sebagai pemegang hak istimewa dalam sistem sosial. Gagasan inilah yang melahirkan istilah seperti heteronormativitas, gender biner, hingga gender superior.

Alasan masyarakat juga perlu mengetahui sekaligus memahami keberagaman gender menurut Dina agar meminimalisasi terjadinya homofobia. Selain itu, menghindarkan dari perilaku yang mengarah pada kekerasan berbasis gender dan tindakan diskriminatif.

“Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai non-biner tergolong dalam kelompok rentan dan marjinal. Mereka seringkali mendapatkan perlakuan buruk hanya karena menunjukkan identitas atau ekspresi gendernya,” ujar peneliti bidang komunikasi, media, dan isu seksualitas itu.

Sebagai penutup, Dina menyarankan implementasi pendidikan seks yang komprehensif merujuk pada International Technical Guidance Sexuality Education (2018). Diskusi lalu berakhir dengan tanya jawab bersama peserta kegiatan.

Penulis: Sela Septi Dwi Arista

Editor: Nuri Hermawan