Universitas Airlangga Official Website

Daun Katuk sebagai Obat Antimalaria dari Bahan Alam

Foto oleh kursrupiah.net

Katuk, tanaman pelancar air susu Ibu (ASI), memiliki nama ilmiah Sauropus androgynus (L.) Merr dan juga dikenal sebagai “multigreen” karena kandungan vitamin dan nutrisinya yang tinggi. Umumnya sayuran ini dikonsumsi mentah sebagai salad atau dimasak sebagai tumisan, sup atau kari di sebagian besar negara Asia Tenggara. Berdasar pendekatan kemotaksonomi yaitu dari genus Sauropus, tanaman tersebut diduga memiliki kandungan senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan parasit penyebab penyakit malaria. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium dan dapat menyebabkan kurang darah (anaemia), penyakit kuning (jaundice), kejang, koma hingga kematian pada para penderita malaria. Upaya pengendalian malaria sangat penting , yang meliputi pencegahan, diagnosis, dan pengobatan, namun tetap diperlukan upaya untuk mengembangkan obat antimalaria baru baik dari bahan alam maupun sintetis. Telah dilaporkan sebelumnya bahwa tanaman Sauropus spatufolius memiliki aktivitas antimalaria yang baik terhadap parasit penyebab malaria pada manusia, Plasmodium falciparum, dengan nilai konsentrasi penghambatan sebesar 6,10 μg/mL. Sedangkan tanaman Katuk sendiri belum banyak yang melaporkan aktivitas biologisnya terhadap malaria. Pengujian pada kultur sel (in vitro) dan hewan laboratorium (in vivo) merupakan salah satu komponen penting yang kritis dalam awal penemuan obat antimalaria. Dari kedua pengujian tersebut kita dapat melihat bagaimana potensi dan efikasi suatu senyawa dalam menghambat pertumbuhan parasit malaria. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk menyelidiki potensi aktivitas antimalaria ekstrak etanol 96% daun Katuk menggunakan model hewan malaria serta menyelidiki senyawa aktif yang bertanggung jawab dalam aktivitas biologis tersebut.

Informasi awal mengenai aktivitas antimalaria tanaman Katuk diperoleh melalui pengujian secara in vitro terhadap parasit P. falciparum yang dikembangbiakkan dalam kultur sel darah merah manusia. Dalam pengujian tersebut, ekstrak etanol 96% beserta fraksinya sangat aktif dalam menghambat pertumbuhan parasit dengan nilai konsentrasi penghambatan (IC50) sebesar masing-masing 1,88 μg/mL dan 2,04 μg/mL. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pengujian ekstrak pada hewan coba yang terinfeksi parasit malaria. Ekstrak etanol 96% daun Katuk menunjukkan aktivitas terapeutik yang baik dengan nilai dosis efektif (ED50) sebesar 15,35 mg/kg. Penghambatan ekstrak terhadap pertumbuhan parasit P. berghei berkisar antara 33,73 hingga 66,11% dengan rentang dosis yang diberikan sebesar 1–200 mg/kg per hari selama empat hari berturut-turut. Selain itu, pemberian ekstrak pada dosis 400 mg/kg selama empat hari berturut-turut mampu mencegah pertumbuhan parasit hingga 67,74%, sedangkan dengan pemberian ekstrak pada dosis 200 mg/kg selama delapan hari berturut-turut mampu mencegah pertumbuhan parasit hingga 65,30%. Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% daun Katuk tidak hanya dapat digunakan untuk pengendalian (kuratif), tetapi juga dapat digunakan untuk pencegahan (preventif) infeksi malaria.

Selain pengujian aktivitas, penelitian mengenai mekanisme kerja dalam menghambat parasit sangatlah penting dalam upaya penemuan dan pengembangan obat antimalaria. Salah satu mekanisme kerja yang berpotensi menjadi target obat antimalaria yaitu proses detoksifikasi heme. Beberapa pustaka menyatakan bahwa heme bebas bersifat racun bagi parasit malaria, dan salah satu cara parasit untuk menghindarinya adalah dengan mengembangkan detoksifikasi heme yang mengubah heme menjadi tidak berbahaya lagi. Oleh karena itu, dengan menghambat proses detoksifikasi heme mampu menyebabkan gangguan pertumbuhan bahkan kematian parasit malaria. Dengan demikian bahan yang mempunyai aktivitas penghambatan detoksifikasi heme tinggi, sangat berpotensi sebagai antimalaria. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% dari daun Katuk (IC50 = 0,479 mg/mL) memiliki daya hambat proses detoksifikasi heme lebih tinggi dibandingkan klorokuin difosfat (IC50 = 0,569 mg/mL).

Secara keseluruhan, ekstrak etanol 96% dan fraksinya dari daun Katuk terbukti mampu menghambat pertumbuhan parasit malaria baik dalam kultur sel darah merah manusia maupun dalam hewan coba malaria. Ekstrak etanol 96% daun Katuk juga ditemukan lebih aktif dalam menghambat proses detoksifikasi heme dibandingkan klorokuin difosfat. Ekstrak etanol 96% daun Katuk dilaporkan mengandung terpenoid yang diduga berperan aktif dalam aktivitas antimalaria tanaman tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daun Katuk berpotensi sebagai sumber bahan baku pengembangan obat antimalaria baru dari bahan alam.

Penulis: Dr. Wiwied Ekasari, Dra., Apt., M.Si.

Link: https://www.hindawi.com/journals/scientifica/2022/3552491/