Infeksi menular saluran pernapasan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang pertama kali muncul di Wuhan, China menandai dimulainya sejarah pandemi paling mematikan yang kini telah berlangsung selama 3 tahun. Gejala akibat COVID-19 sangat beragam, mulai dari tanpa gejala hingga gejala berat seperti kegagalan sistem pernapasan dan sepsis yang mematikan. Selain itu, COVID-19 juga mampu menyebabkan hiperkoagulopati, yaitu gangguan pada sistem pembekuan darah yang dapat bermanifestasi sebagai bekuan darah atau trombus di pembuluh darah.
Gejala yang paling sering dialami oleh pasien COVID-19 adalah demam (70-90%), gangguan penciuman dan perasa (anosmia) (64-80%), batuk kering (60-86%), sesak napas (53-80%), kelelahan (38%), mual/muntah atau diare (15-39%), dan nyeri otot (15-44%). Hiperkoagulopati yang ditandai dengan peningkatan kadar D-dimer dalam darah lebih sering dijumpai pada pasien dengan COVID-19 derajat berat/kritis (60%).
Malaria adalah penyakit infeksi akibat parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Apabila tidak segera ditangani, malaria akan berkembang menjadi kondisi berat yang mengancam jiwa. Di Indonesia, terdapat 5 jenis spesies Plasmodium penyebab malaria, salah satunya adalah Plasmodium vivax. Pasien dengan malaria biasanya akan mengeluh demam paroksismal, kelelahan, dan nyeri otot. Ko-infeksi antara malaria dan COVID-19 jarang dilaporkan, namun apabila terjadi diduga respon sistem imun inang yang berlebihan akan memperberat kondisi koagulopati dan memperburuk kemungkinan sembuh.
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 23 tahun yang datang ke RS dengan keluhan demam, anosmia, nyeri kepala, dan mual sejak 1 minggu sebelumnya. Pasien tersebut kemudian didiagnosis dengan COVID-19 dan mendapatkan perawatan selama 10 hari kemudian dipulangkan untuk rawat jalan dan menjalani isolasi mandiri di rumah. Dua minggu kemudian, pasien kembali ke RS dengan keluhan demam tinggi setiap 2 hari diikuti dengan siklus menggigil-demam-berkeringat, Setelah mengetahui bahwa pasien memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria dan pernah terinfeksi malaria sebelumnya, pemeriksaan mikroskopik malaria dan PCR SARS Cov-2 dengan apusan nasofaring dilakukan. Diagnosis kedua infeksi pun terkonfirmasi. Hasil laboratorium juga menunjukkan kadar D-dimer yang tinggi. Pasien kembali menjalani perawatan di RS dan mendapatkan terapi anti-malaria dengan regimen dihydroartemisinin-piperaquine (DHP) 4 tablet per hari selama 3 hari dan primaquine 2 tablet per hari selama 14 hari sesuai dengan Pedoman Tata Laksana Malaria Indonesia. Setelah 6 hari perawatan, kondisi pasien membaik secara signifikan dan pasien dipulangkan untuk rawat jalan.
Indonesia merupakan salah satu negara tropis di dunia yang masih menghadapi tingginya risiko infeksi malaria. Hampir 80% kota atau kabupaten di Indonesia merupakan daerah endemis malaria, salah satunya adalah Papua. Plasmodium vivax merupakan penyebab malaria yang sering mengalami kekambuhan. Salah satu pencetus kekambuhan atau reaktivasi malaria vivax adalah respon inflamasi inang terhadap adanya penyakit sistemik atau infeksi yang lain. Mekanisme yang mendasari ko-infeksi COVID-19 dan Plasmodium vivax masih belum jelas. Pada pasien ini diduga reaktivasi infeksi P. vivax disebabkan oleh adanya sistem imunitas yang menurun akibat adanya infeksi COVID-19. Pasien dalam kasus juga mengalami pemanjangan waktu bersihan virus, yang menyebabkan hasil PCR tetap positif bahkan 38 hari setelah onset gejala. Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi fenomena ini meliputi tingginya sitokin pro-inflamatorik yang diperparah oleh kekambuhan malaria vivax.
Kondisi hiperkoagulopati pada pasien dapat diperburuk oleh adanya ko-infeksi malaria dan COVID-19. Sehingga pemberian antikoagulan memiliki peran penting dalam menurunkan risiko kejadian trombotik. Gejala COVID-19 yang tidak spesifik seperti demam, kelelahan, dan nyeri otot, dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis malaria. Sehingga pada daerah endemis malaria, di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang rentan menimbulkan terbatasnya fasilitas kesehatan, diagnosis malaria harus selalu dipertimbangkan.
Laporan kasus ini menunjukkan bahwa mempertimbangkan kemungkinan ko-infeksi pada pasien COVID-19 dengan gejala demam dapat mencegah keterlambatan terapi yang dapat memperburuk kondisi pasien. Membangun kecurigaan klinis saat menghadapi pasien dengan pola demam tertentu dan menggali lebih dalam riwayat perjalanan ke area endemis malaria dan infeksi malaria sebelumnya melalui anamnesis menjadi benang merah dalam membedakan infeksi COVID-19 dengan malaria.
Penulis: Tri Pudy Asmarawati, dr., Sp.PD.
Judul artikel: Prolonged fever and exaggerated hypercoagulopathy in malaria vivax relapse and COVID-19 co-infection: a case report
Link artikel: https://doi.org/10.1186%2Fs12936-022-04215-5