Dalam konteks ekonomi, wakaf diartikan sebagai pengalihan dana (sumber daya lain) dari konsumsi untuk diinvestasikan pada aset produktif yang memberikan hasil atau pendapatan untuk konsumsi masa depan oleh individu atau kelompok individu. Wakaf telah berkembang menjadi lembaga sosial ekonomi yang paling penting, memastikan bahwa peran sosial dan ekonomi dapat dibangun dan dipertahankan secara adil. Wakaf merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam Islam sehingga keberadaannya sangat penting bagi pembangunan suatu negara. Namun sayangnya, keberadaan wakaf belum maksimal sehingga kontribusinya terhadap pembangunan di Indonesia masih sangat minim.
Indonesia adalah negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Muslim Indonesia mewakili 12,7% dari populasi Muslim dunia, dengan Pakistan dan India masing-masing menyumbang 11,10% dan 10,90%. Alasan lainnya adalah Indonesia menduduki peringkat pertama CAF World Giving Index 2018 untuk orang yang paling banyak berdonasi. Ini adalah peluang besar bagi Indonesia menjadikan ekonomi Islam untuk mencapai tujuannya menjadi ekonomi yang adil dan mendorong wakaf untuk pembangunan ekonomi.
Dalam sebuah webinar (Pradigma Nazir dan Wakaf 4.0, 2020), seorang cendikiawan Muslim Indonesia, Prof. Raditya Sukmana, mencoba memperkirakan potensi besar wakaf tunai di Indonesia, mencatat bahwa penduduk Indonesia sekitar 240 juta, dengan populasi Muslim 85 persen sekitar 200 juta. Mengingat separuh umat Islam tidak miskin, 100 juta warga dengan wakaf bulanan Rp 1.000 akan memperoleh Rp 100 miliar per bulan. Lebih lagi, Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf tunai di Indonesia diperkirakan mencapai 180 triliun. Sementara itu, meski memiliki potensi besar, wakaf tunai yang berhasil dihimpun hingga 2020 hanya berjumlah Rp. 391 miliar. Sementara itu, menurut Kementerian Koperasi dan UKM, penghimpunan wakaf tunai di Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah dan Unit Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS) baru mencapai Rp33,7 miliar.
Banyak faktor yang menyebabkan kondisi tersebut, antara lain rendahnya minat masyarakat Indonesia untuk berdonasi dalam bentuk wakaf. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga wakaf di Indonesia untuk memaksimalkan penghimpunan dana wakaf adalah dengan menggunakan platform financial technology berupa crowdfunding. Crowdfunding semakin menjadi pendekatan utama untuk penggalangan dana amal. Crowdfunding sebagai wadah untuk menghimpun donasi dari masyarakat, sangat cocok untuk diadopsi dengan menghimpun dana wakaf tunai. Banyak negara, termasuk Australia, Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Inggris Raya, Prancis, India, dan Brasil, telah sukses dengan model penggalangan modal melalui crowdfunding.
Dengan bantuan internet, kontribusi Crowdfunding memungkinkan proyek dan bisnis tertentu dibiayai melalui berbagai platform crowdfunding. Ini adalah solusi teknologi tercepat yang mampu memberikan peluang bagi organisasi wakaf untuk meningkatkan manajemen proses bisnis mereka dan menarik lebih banyak wakaf. Indonesia merupakan negara berkembang yang telah maju dalam pemanfaatan teknologi, termasuk internet dan telepon genggam. Jumlah pengguna internet Indonesia yang sangat besar, diperkirakan sekitar 171, 17 juta orang pada tahun 2018, meningkat 27,9 juta dari 143,2 juta pada tahun sebelumnya. Penggunaan internet meningkat setiap tahun, menurut laporan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia 2019-2020 (Q2), pengguna internet meningkat 196.714.070,3, meningkat 8,9% dari tahun sebelumnya. Karena penggunaan jaringan internet di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, maka peluang penggalangan dana online di Indonesia sangat besar. Crowdfunding berbasis wakaf tunai diusulkan sebagai solusi dalam penelitian ini dan diharapkan dapat menjadi model yang efektif dan sesuai untuk pengembangan sistem perwakafan di Indonesia.
Dengan demikian penelitian ini dirancang untuk menguji secara empiris niat perilaku crowdfunder untuk menggunakan crowdfunding wakaf dengan membandingkan dua teori yang relevan digunakan untuk adopsi teknologi yaitu teori Technology Acceptance Model (TAM3) dan Use Of Technology (UTAUT2). Penelitia ini menggunakan responden yang berasal dari berbagai pulau yang ada di Indonesia yaitu pulau Sumatra, pulau Jawa, Pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau papu serta bali dan Nusa tengara. Kebanyak respon merupakan umur 20-30 tahun yang merupakan generansi yang melek teknologi digital.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan Crowdfunding berbasis wakaf tunai ternyata bergantung pada teori model penerimaan (TAM3). Temuan penelitian ini memberikan perspektif holistik bagi pembuat kebijakan, khususnya Badan Wakaf Indonesia sebagai otoritas Wakaf yang mengatur Wakaf serta Nazir, untuk meningkatkan efisiensi dengan menerapkan teknologi keuangan, khususnya crowdfunding, dalam mengumpulkan dana Wakaf dari Wakif. Oleh karena itu, Penelitian ini merekomendasikan pertama, organisasi wakaf untuk menyediakan kerangka kerja platform yang mudah digunakan, aman, dan terjamin bagi penggunanya, serta yang menumbuhkan kepercayaan publik terhadap crowdfunder. Kedua, pemerintah harus membuat kebijakan untuk mendukung penggunaan platform digital berupa crowdfunding wakaf, misalnya ketika Nazir mengelola dana wakaf yang terkumpul melalui crowdfunding diharapkan pemerintah membuat aturan perpajakan yang lebih ringan, dengan harapan banyak masyarakat akan memberikan wakaf tunai. Ketiga, memberikan edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya penggunaan platform digital dalam pengelolaan wakaf kepada seluruh pemangku kepentingan seperti nazhir dan waqif. Untuk melaksanakan wakaf berbasis crowdfunding terdapat permasalahan yang mungkin timbul yaitu uang yang akan ditransfer oleh wakif kepada Nazir dianggap sebagai pencucian uang. Oleh karena itu, diharapkan regulator membuat aturan yang dapat mendeteksi mana yang termasuk pencucian uang atau bukan.
Penulis: Prof. Dr. Raditya Sukmana, S.E., M.A.
Link: https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/JIMA-08-2021-0246/full/html