UNAIR NEWS – Konflik berkepanjangan antara Ukraina dengan Rusia kembali menjadi sorotan setelah Ukraina menolak proposal perdamaian dari Indonesia. Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto mengemukakan gagasan proposal perdamaian pada KTT pertahanan Shangri-La Dialog, Singapura, yang berlangsung beberapa waktu lalu.
Penolakan Ukraina
Radityo Dharmaputra SHub Int MHub Int dosen hubungan internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR berikan tanggapan terkait hal tersebut. Pihaknya menilai, gagasan perdamaian tersebut sangat masuk akal jika langsung Ukraina dan negara-negara Barat tolak. Jika menelaah lebih lanjut dari gagasan tersebut, keberpihakan lebih condong menguntungkan Rusia.
“Karena tidak masuk akal, tidak sesuai kondisi saat ini di lapangan. Tidak mempertimbangkan konteks sejarah dan politik kawasan Eropa Timur, serta tidak sesuai prinsip Indonesia sendiri,” jelas Radityo yang juga mengambil fokus studi Rusia dalam pendidikan magister dan doktoralnya.
Persoalan Wilayah dan Gencatan Senjata
Radityo menanggapi bahwa saat ini Rusia telah memasuki wilayah Ukraina sejauh ratusan kilometer. Jika sesuai dengan proposal perdamaian yang Indonesia ajukan, bahwa ingin adanya penarikan mundur pasukan sejauh 15 km dan pembentukan zona demiliterisasi (DMZ).
Hal itu tidak relevan karena kuantitas wilayah jajahan Rusia yang sudah banyak menguasai Ukraina serta saat ini Ukraina sedang banyak mendapatkan dukungan amunisi dari pihak internasional. Selain itu, zona itu harus dijaga oleh pasukan perdamaian yang juga memerlukan persetujuan dari Dewan Keamanan PBB. Dalam hal ini, Rusia menjadi salah satu anggota tetap yang memiliki hak veto secara mutlak. Sehingga, pengambilan keputusan ini akan sangat menguntungkan Rusia.
“Kalau penawarannya di awal perang, tentu masuk akal bagi Ukraina, karena mereka sedang terdesak. Saat ini kondisi Ukraina sedang di atas angin,” jelas Radityo yang juga dosen Masyarakat Budaya Politik Rusia, Eropa Timur dan Asia Tengah.
Reputasi Indonesia Dalam Politik Dunia
Radityo mengungkapkan, keputusan yang dinilai kurang matang itu menjadi poin yang sangat disayangkan saat diungkapkan saat KTT Shangri-La, Singapura. Pasalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini Indonesia dinilai kurang mempertimbangkan beberapa faktor pemicu konflik Rusia-Ukraina.
Oleh karena itu, saat ini Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mendapatkan panggilan langsung dari presiden guna memastikan jelas terkait gagasan tersebut. Karena hal itu juga berkaitan dengan melanggengkan argumen “might is right” dalam politik global dengan dalih ‘ini realitasnya’.
“Ketidakjelasan dan amatirnya proposal yang ditawarkan memunculkan pertanyaan. Siapa yang sebetulnya menyusun? Apakah sudah berkordinasi dengan Presiden dan Kementerian luar negeri?,” pungkas Radityo. (*)
Penulis: Satriyani Dewi Astuti
Editor: Binti Q. Masruroh