Universitas Airlangga Official Website

Dosen Ilmu Sejarah: Colonial Governance Gagal Terapkan Politik Lingkungan di Surabaya

Dr Sarkawi B Husain SS M Hum, selaku Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) hadiri Seminar Nasional Sejarah : Menulis Masa Silam, Menatap Masa Depan.

UNAIR NEWS – Surabaya tidak hanya menarik dalam pengertian geografi. Selain posisinya sebagai salah satu kota kolonial, kota tersebut mendapat praktek Colonial Governance yang berlangsung secara intensif. Hingga akhir periode penjajahan di Indonesia, pemerintah kolonial belanda gagal mendisiplinkan masyarakat Surabaya.

Hal ini diungkapkan oleh Dr Sarkawi B Husain SS M Hum, selaku Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR). Ia mengungkapkan bahwa kegagalan tersebut didasarkan pada pengelolaan lingkungan dan pengelolaan kebersihan, dalam hal ini adalah tinja dan sampah.

Colonal Governance sebagai instrumen penting dalam pengelolaan lingkungan di Surabaya tidak dapat berjalan sesuai harapan para aparatur pemerintah kolonial. Sebab sejumlah aturan yang dibuat, seperti pengelolaan sampah dan tinja tidak mendapatkan respon baik dari masyarakat. sebaliknya, masyarakat tetap saja membuang sampah dan hajar di sembarang tempat.

Sikap ini berbanding lurus dengan buruknya kesehatan lingkungan yang berakibat pada merebaknya berbagai penyakit kronis. “Sepanjang abad ke-19, kota Surabaya telah mengalami lima kali serangan wabah penyakit dengan tingkat kematian 40,6%,” Ujarnya.

Sampai awal abad ke-20, beberapa penyakit yang merebak antara lain adalah disentri, cacar, pes dan kolera. Angka kematian terbesar kolera terjadi pada tahun 1872 dngan jumlah korban sekta 6000 jiwa atau mencapai hampir 10 persen dari total penduduk kota Surabaya.

“Hal ini sejalan dengan pernyataan Dick dalam bukunya yang berjudul Surabaya, City of Work tersebut bahwa di awal abad 20, Surabaya masih menjadi kota dengan tempat yang sangat tidak sehat,” Imbuhnya.

Kebijakan Sampah dan TInja

Menanggapi fenomena wabah tersebut, lanjut Sarkawi, pemerintah Kolonial membuat kebijakan dalam pengelolaan sampah dan tinja. Pada tahun 1922, pemerintah membangung ribuan bak sampah dan membuat aturan yang disebut “oendang-oendang kotoran/larahan”. Hingga Januari 1924, dinas kebersihan saat itu telah membuat dan menempatkan 2000 bak penampungan dari beton kayu.

Kebijakan tersebut gagal menyelesaikan persoalan sampah dan tinja di Surabaya, sehingga gmeente mengeluarkan peraturan lagi yang mewajibkan rumah mengumpulkan semua sampah dalam satu kotak yang ukurannya ditetapkan oleh dinas kebersihan. Pada Maret 1924, aturan itu diterapkan di beberapa kawasan seperti jl. Sulung, jl. Raya kupang, jl. Penelah dan beberapa jalan lain.

Respons Masyarakat atas Kebijakan Sampah dan Tinja

Dalam hasil penelusurannya, Sarkawi menemukan adanya bentuk ketidakdisiplinan masyarakat atas kebijakan penanganan sampah yang diterapkan oleh pemerintah kolonial.

Salah satu bentuknya, yakni mengalihkan kewajiban menjaga kebersihan kepada pemerintah lokal. Masyarakat tidak menaati dan menyalahkan kepala kampung yang tidak becus menyelesaikan masalah sampah.

Lalu, yang kedua, masyarakat tetap membuang sampah di sembarang tempat. Di sekeliling bak-bak itu, penduduk dengan seenaknya membuang sampah. Penduduk juga menggunakan bak-bak itu sebagai tempat untuk buang hajat. Upaya pemerintah kolonial mengatasi persoalan sampah dengan membangun cerobong pembakaran juga tidak mendapat respon yang baik dari masyarakat.

“kalau ada mitos bahwa masyarakat pribumi adalah orang yang tertib, maka saya kira tidak begitu adanya, dan hal tersebut mematahkan argumen orang eropa (belanda) dapat mengatur ratusan ribu pribumi,” Ujarnya.

Penjelasn Sarkawi tersebut merupakan bagian dari Seminar Nasional Sejarah Menulis Masa Silam, Menatap Masa Depan dengan tajuk Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan Masyarakat Hindia Belanda yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada Senin (20/6/2022).

Penulis: Affan Fauzan

Editor: Feri Fenoria