Universitas Airlangga Official Website

Dosen Psikologi Ciptakan Alat Bantu Komunikasi Autisme Berbasis Aplikasi

Suasana training TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children) yang dipandu langsung oleh Margaretha. (Foto: Istimewa)
Suasana training TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children) yang dipandu langsung oleh Margaretha. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Margaretha SPsi PGDip Psych MSc; Dosen Fakultas Psikologi (FPsi) UNAIR, Ira Puspitasari ST MT PhD; Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR, Nisrina Khamida; Kepala UPTD ABK Kabupaten Sidoarjo, dan Sri Retno Yuliani; Kepala Sekolah SLB River Kids Malang berhasil menciptakan dan mengembangkan sebuah aplikasi bernama bernama MIKA 1.0 (Media Visual Komunikasi Anak). 

Bukan tanpa alasan mereka mencanangkan MIKA 1.0. Dalam wawancara eksklusif dengan UNAIR NEWS, Margaretha menjelaskan salah satu hal yang menjadi pendorongnya untuk menciptakan MIKA 1.0 berawal dari meningkatnya angka penyandang ASD (Autism Spectrum Disorder) di Indonesia pada tahun 2018.  Hal tersebut yang menggerakkannya untuk membuat suatu inovasi alat bantu komunikasi bagi autisme untuk dapat berkomunikasi dengan lancar.

Sosok perempuan hebat di balik aplikasi MIKA 1.0. (Foto: Istimewa)

Aplikasi MIKA 1.0 telah diluncurkan untuk pertama kalinya di Gedung Kahuripan, Kantor Manajemen Kampus MERR-C pada Kamis (4/1/2020) dan menjadi satu-satunya, terapi komunikasi autisme pertama di Indonesia yang terstandarisasi. Menurut pengakuannya, saat pertama kali diluncurkan masih perlu adanya pengembangan, perbaikan serta edukasi untuk dapat berjalan dengan lancar. 

“Namun, perlu dipahami betul bahwa dalam penggunaannya ini bagian dari belajar atau terapi yang terstruktur. Artinya, para pengguna harus memahami betul karakteristik kebutuhan anak, perkembangan komunikasi dan prinsip stimulus terstruktur dalam MIKA agar tepat guna. MIKA ini tak hanya dapat digunakan untuk anak autisme saja, namun juga dapat digunakan oleh para anak yang mengalami keterlambatan bicara atau speech delay,” ujar Margaretha. 

Margaretha selaku pemrakarsa MIKA menerangkan bahwa tidak semudah membalikkan telapak tangan baginya untuk mengembangkan aplikasi MIKA. Pasalnya, sejak awal diluncurkannya MIKA pada tiga tahun silam bersamaan dengan pandemi COVID-19 yang menyerang Indonesia. Hal ini tentu menghambatnya dalam mengembangkan MIKA. 

“Pada masa itu menyebabkan mobilitas masyarakat menjadi sangat terbatas dan angka kasus kian meningkat. Tentunya, hal ini menyebabkan kita selaku kreator MIKA tidak dapat berbuat banyak hal untuk mengembangkan dan menyempurnakan MIKA,” tambahnya. 

Margaretha menegaskan bahwa MIKA bukanlah aplikasi bermain anak, melainkan alat terapi komunikasi bagi anak autisme atau hendaya komunikasi. Hal ini menjadi salah satu tantangannya untuk mengedukasi calon pengguna agar MIKA dapat menjadi aplikasi tepat guna bagi untuk mengembangkan komunikasi fungsional.

“Nah, user dari MIKA harus memperlengkapi diri dengan training karakteristik autisme dan TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children). Training ini memberikan pemahaman bagaimana menggunakan MIKA dengan benar serta hal yang harus diperhatikan selama bekerja dengan anak,” sambung Margaretha.

Dalam penggunaannya, MIKA mengajarkan komunikasi berupa metode multimodal. Artinya, MIKA tak hanya menyuguhkan tulisan, namun juga memberikan visual dan audio yang berfungsi untuk memperkuat stimulus dari anak autisme itu sendiri. 

“Dengan metode ini, nantinya digunakan agar anak mampu untuk mengenal arti kata, mengenal suara dan bentuknya seperti apa. MIKA juga menggunakan metode bertahap. Singkatnya, para anak autisme harus melewati beberapa empat tahapan untuk belajar berkomunikasi dengan baik,” imbuhnya. 

Pertama, anak autisme diajarkan untuk menguasai pembenaran kata. Nantinya, setelah seorang anak telah menguasai hal tersebut akan diminta untuk membentuk kalimat sederhana yang terdiri dari subjek, predikat objek dan keterangan (SPOK). Ketiga, anak akan dilatih membentuk kalimat yang kompleks (kalimat lengkap SPOK).. 

“Di akhir, seorang anak autisme akan diajarkan untuk membuat dialog singkat. Mungkin bagi orang umum membuat dialog merupakan hal yang mudah namun bagi individu dengan hendaya komunikasi, membangun dan mempertahankan percakapan merupakan hal yang sulit,” ucap Dosen Psikologi UNAIR itu. 

Pemrakarsa MIKA itu mengungkapkan rasa syukurnya kepada pemerintah Australia yang memberikan dukungan penuh dan pendanaan untuk pengembangan inovasi MIKA. Pendanaan tersebut merupakan program dari Australia Award Alumni Grant Scheme (AGS) yang memberikan kompetisi dana bagi para seluruh alumni pendidikan Australia untuk melakukan proyek komunitas bagi masyarakat di Indonesia. 

“Pada tahun 2018, saya memberanikan diri untuk mengajukan pendanaan atas ide saya membuat aplikasi komunikasi untuk anak dengan autisme. Syukurlah pemerintah Australia memberikan saya kesempatan untuk mengembangkan aplikasi inovatif untuk mendukung proses terapi komunikasi. Tentu dalam pengembangan MIKA ini saya tidak sendiri, saya ditemani oleh ketiga rekan saya lainnya, yakni  Ira Puspitasari, Nisrina Khamida, dan Sri Retno Yuliani ” ujarnya. 

Ira Puspitasari juga menjelaskan bahwa sejak awal pertama kali MIKA diluncurkan telah ada pengguna tetap, yaitu para pengajar di SLB Autisme River Kids Malang dan terapis di Unit Layanan Terpadu (ULT) Kabupaten Sidoarjo. Mereka merupakan salah satu peserta yang hadir dalam peluncuran MIKA pertama kalinya. 

“Namun, tak hanya dua center tersebut yang menggunakan MIKA, banyak unit layanan dan tenaga kependidikan, bahkan orang tua datang dari luar kota untuk belajar menggunakan MIKA. Semasa masa pandemi, kami berupaya untuk memperkuat MIKA dan berusaha untuk memasukkan MIKA dalam Google Play Store. Harapannya, untuk mempermudah akses MIKA bagi lebih banyak pengguna. Artinya, semakin banyak anak autisme di seluruh Indonesia yang kami bantu dengan MIKA ” ucapnya. 

Alumnus Osaka University itu menerangkan bahwa perlu persiapan yang matang untuk relaunching di Google Play Store. Ia dibantu oleh Alumni FST UNAIR, Vito Emir untuk melakukan evaluasi dan perbaikan aplikasi MIKA tersebut. 

“Tentunya, dalam pengembangan MIKA ini akan melibatkan pakar autisme disorder untuk tambahan fitur lainnya yang belum ada pada MIKA 1.0. Insyaallah, jika semuanya telah siap MIKA versi terbaru akan relaunching pada April 2024,” tungkasnya.

Penulis: Satrio Dwi Naryo

Editor: Khefti Al Mawalia