UNAIR NEWS – Komisi II DPR tengah menyiapkan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Revisi ini terkait kewenangan mutasi atau rotasi jabatan ASN pada tingkat eselon II ke pemerintah pusat. Tujuan dari revisi ini adalah mengatasi permasalahan pelanggaran netralitas ASN pada pemilihan kepala daerah. Hal tersebut Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda nyatakan pada Senin (21/4/2025).
Melalui revisi UU ASN ini, presiden akan berwenang mengangkat, memindahkan, hingga memberhentikan pejabat tinggi dari tingkat pusat sampai daerah. Perubahan tersebut dinilai tidak sesuai dengan desentralisasi atau otonomi daerah. Menanggapi hal ini, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR, Dr Ni Made Sukartini SE MSi MIDEC, angkat suara. Menurutnya, secara umum revisi UU dapat berlangsung apabila tujuannya jelas dan dapat meningkatkan efisiensi pelaksanaan pemerintahan.
Namun, dalam RUU ASN, penambahan tugas pemerintah pusat Made nilai dapat berdampak pada efisiensi tugas utama presiden. “Revisi UU ASN ini bermakna adanya penambahan tugas presiden atau menteri yang ditunjuk untuk mengangkat dan mempromosikan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) pratama di seluruh wilayah kabupaten atau kota di Indonesia. Tugas ini tentu cukup membebani dan mungkin berdampak pada efisiensi tugas utama presiden.”
Desentralisasi dan Netralitas
Selain berpengaruh terhadap efisiensi tugas pemerintah pusat, Made juga menilai bahwa revisi UU ASN tidak selaras dengan implementasi kebijakan desentralisasi. “Saya sepakat bahwa tugas, yang dalam peraturan sebelumnya, sudah didelegasikan pada jenjang pemerintahan di bawahnya jangan diambil alih kembali oleh pemerintah pusat. Sebab, pemerintah daerah tentu lebih paham kemampuan dan potensi ASN daerah dibandingkan pemerintah pusat sebagaimana diargumentasikan dalam implementasi kebijakan desentralisasi.”
Menanggapi tujuan pemerintah dalam mengatasi persoalan pelanggaran netralitas ASN, Made menyebut perlu adanya kajian untuk mempertimbangkan manfaat dan kelemahannya. Made menyatakan bahwa sistem meritokrasi yang berusaha pemerintah bangun melalui revisi UU ASN ini dapat berjalan baik jika terdapat transparansi. Namun, budaya yang masih berlaku di Indonesia saat ini menunjukkan pentingnya upaya perbaikan.
“Dengan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk bekerja berdasarkan kemampuan, bukan kedekatan dan kesamaan politik, revisi UU ASN ini mungkin menjadi wujud meritokrasi di ASN. Sistem ini dapat terwujud baik asal ada transparansi informasi dan kinerja ASN JPT pratama yang dapat diakses oleh presiden atau pejabat menteri yang diberi kewenangan,” jelas Made.
Penulis: Khumairok Nurisofwatin
Editor: Edwin Fatahuddin