Sebagai negara yang saat ini bertengger dalam posisi nomor dua terbesar dari segi GDP dan kekuatan militernya, kehadiran Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik patut untuk diamati secara mendetail. Hubungan Internasional secara umum menawarkan dua pendapat yang mengemuka antara penggunaan kekuatan yang bersifat lunak dan keras. Kasus kehadiran Tiongkok dalam sengketa Laut Cina Selatan ditengarai sebagai satu strategi untuk menggelorakan ambisi Beijing dalam menguasai geopolitik kawasan yang kerap dikaitkan dengan kehadiran AS. Laut Cina Selatan yang sangat kaya sumber daya alam menjadi pertaruhan besar antara negara-negara besar. Tiongkok hendak mengklaim bahwa Laut Cina Selatan adalah wilayah yurisdiksi perairan negaranya.
Dua Sisi Tiongkok
Pada umumnya, terdapat dua sisi yang berlawanan ketika melihat perilaku negara Tiongkok di kawasan. Pertama, melihat geliat investasi Tiongkok di bidang infrastruktur melalui keberadaan kerja sama multilateral Belt and Road Initiative (BRI) dan platform berupa Asia Investment and Infrastructure Bank (AIIB). Dari kedua media ini, Tiongkok menggelontorkan jutaan dana investasi yang tentu menjadi perhatian serius bagi negara-negara Asia dan Afrika yang masih masuk dalam kategori negara dunia ketiga. Diplomasi Beijing menjadi titik tumpu utama dalam mengamankan kepentingan untuk menggaet sebanyak mungkin negara mitra agar dapat bergabung dalam BRI.
Kedua, klaim Sembilan Garis Putus dengan sejumlah aksi-aksi unilateral pada Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Tiongkok sedang progres membangun sebuah pangkalan militer di kedua pulau dengan menguruk pulau karang dengan pasir. Hal ini kemudian membuat presensi angkatan laut PLA Tiongkok semakin aktif untuk berpatroli di perairan yang dianggap sebagai tempat pemancingan historis sejak era dinasti-dinasti terdahulu. Dengan perilaku yang berbeda dalam percaturan politik regional tersebut, tidak berlebihan apabila penulis kemudian membuat istilah strategi “dua-wajah” yang merepresentasi aksi koersi dan diplomasi yang dilakukan oleh Tiongkok.
Tiongkok kerap kali menggerakkan kapal perang maupun kapal penjaga pantainya untuk melakukan provokasi terhadap negara-negara pengklaim maupun non-pengklaim agar terpancing untuk memprotes pemerintahan Beijing atas tindakan asertif dan agresifnya tersebut. Indonesia, misalkan dalam batasan tertentu geram dengan aksi Tiongkok dan segera melakukan latihan militer besar-besaran sekaligus mengupayakan penamaan Laut Natuna Utara yang mana di dalamnya terdapat kandungan minyak dan gas alam yang besar. Di saat yang bersamaan Tiongkok juga mencoba menantang AS yang selama ini tidak menyepakati UNCLOS sehingga bebas berlayar di perairan negara mana pun.
Kajian Kebijakan Luar Negeri Standar Ganda
Studi yang dilakukan secara kualitatif-eksplanatori kemudian mencoba untuk menggali bagaimana strategi “dua-wajah” ditempuh dalam mengatasi sengketa wilayah yang terjadi di Laut Cina Selatan. Terdapat satu celah penelitian yang ditemukan berdasarkan studi pustaka bahwa yang selama ini diteliti adalah kebijakan keamanan Tiongkok dan studi mengenai Laut Cina Selatan secara umum, yang kemudian membuat satu penelusuran mendasar mengenai kealpaan strategi “dua-wajah” ini belum diutarakan secara gamblang oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Secara konseptual, ASPI Strategist sebelumnya telah menggunakan istilah double-standard foreign policy untuk menggambarkan negara yang mengejar target ideal, dan menyikapi realitas politik yang ada yang mana keduanya menunjukkan kondisi yang saling bertolak belakang antar satu dengan yang lain.
Begitu juga dengan konsep smart power yang digagas oleh Joseph Nye. Nye melihat suatu fenomena yang kemudian mencampurkan antara soft power dan hard power untuk digunakan secara bersamaan demi mencapai kepentingan nasional suatu negara. Tampaknya, hal ini terjadi dengan Tiongkok yang menunjukkan bahwa dengan strategi berupa koersi melalui serangkaian tindakan militer dan diplomasi melalui BRI dapat digunakan dalam waktu yang bersamaan demi penguasaan penuh atas Laut Cina Selatan. Tidak sebatas pada langkah-langkah tersebut, secara diplomatis Tiongkok menekan ASEAN tidak secara institusional namun melalui jalur bilateral agar kekompakan negara-negara Asia Tenggara dapat terpecah mengingat terdapat penggolongan claimant dan non-claimant states.
Dari pendekatan-pendekatan yang ditawarkan di atas, studi dapat mengelaborasi peranan pengambil keputusan dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan keamanan Tiongkok. Termasuk dalam tanggapan-tanggapan yang berbeda atas negara-negara yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Misalkan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam. Semua negara kecuali Indonesia adalah claimant state yang merasa berhak atas perairan yang diklaim oleh Tiongkok. Segala upaya dilakukan termasuk menggugat Tiongkok dalam Mahkamah Internasional, International Maritime Organization, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun kekuatan Tiongkok yang ditunjukkan dengan strategi “dua-wajah” dalam batasan tertentu efektif agar mengarahkan debat dan diskusi dari negara-negara claimant dan non-claimant membuat posisinya menjadi terkunci.
Melalui konsep-konsep yang telah dielaborasikan dengan kasus, di dalam tulisan berjudul “Two-Faced” Strategy in South China Sea Dispute: Between Soft or Hard Power Approach? dapat disimpulkan bahwa Tiongkok menggunakan berbagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan-kebijakan luar negerinya dan ambisi untuk menggunakan strategi “dua-wajah” adalah tendensi untuk mencapai dua tujuan dalam waktu yang bersamaan, yakni: kepentingan-kepentingan geoekonomi dalam BRI sebagaimana mendemonstrasikan eksistensinya di kawasan Indo-Pasifik melalui gelar kekuatan militer besar-besaran. Di sisi lain, bahwa dengan demikian melalui friksi-friksi yang ada, Tiongkok sedang mencoba menunjukkan dalam rangka menandingi AS sebagaimana posisi Beijing saat ini menjadi contender dari adidaya. Memang tidak ada pernyataan resmi dari pemerintahan Xi Jinping bahwa jajarannya akan menyaingi AS, namun modalitas yang dimiliki oleh Tiongkok saat ini telah pantas untuk menyalip AS sebagaimana prediksi dari The Economist tahun 2030an dengan perhitungan Pendapatan Domestik Bruto (PDB/GDP).
Penulis: Probo Darono Yakti
Link Jurnal: Two-Faced” Strategy in South China Sea Dispute: Between Soft or Hard Power Approach?