Perkiraan prevalensi anak palsi serebral di seluruh dunia adalah antara 1,5 sampai 4 per 1000 kelahiran hidup dengan rata-rata 2 per 1000 kelahiran hidup. Prevalensi konstipasi kronik pada anak dengan palsi serebral bervariasi antara 25-75%. Keadaan konstipasi pada anak palsi serebral seringkali diabaikan, karena dianggap sebagai konsekuensi yang wajar dari gangguan disabilitas yang dialami, maupun akibat aspek lain yang lebih diprioritaskan dalam terapi seperti kejang dan deformitas postural. Rasa nyeri dan tidak nyaman yang seringkali menyertai konstipasi kronis memberikan dampak terhadap kesehatan anak, perilaku serta penurunan kualitas hidup.
Peningkatan spastisitas pada palsi serebral seiring dengan bertambahnya usia menyebabkan kekakuan otot yang mempengaruhi sistem gastrointestinal, terutama fungsi motorik oral dan motilitas usus sehingga menyebabkan konstipasi. Anak-anak dengan tonus otot skeletal yang kurang baik serta gangguan koordinasi otot di sekitar anus, dapat memiliki gangguan pergerakan usus. Feses akan tinggal di usus besar lebih lama, dan memiliki konsistensi yang lebih keras akibat semakin banyaknya air yang diserap. Konstipasi pada palsi serebral diakibatkan dari imobilitas, kesulitan menelan dan peningkatan tonus otot abdomen yang berkontribusi pada peristaltik yang lambat dan akibatnya feses menjadi kering. Pada anak palsi serebral, spastisitas dapat diperberat oleh nyeri perut akibat kram otot dan defekasi yang tidak berhasil yang menyebabkan konstipasi kronis dan begitupun sebaliknya.
Kontraksi musculus rectus abdominus berperan dalam meningkatkan tekanan intraabdomen bersama dengan kontraksi otot dasar panggul, diafragma, penutupan glottis dan rectum pada saat ekspulsi feses melalui anus. Kelemahan otot abdomen dapat menyebabkan rendahnya kenaikan tekanan intraabdomen sehingga kekuatan ekspulsif tidak memadai.
Laktulosa dilaporkan efektif dan aman pada anak dengan konstipasi kronis. Namun laktulosa hanya bersifat sementara dalam menghilangkan gejala konstipasi dan beberapa efek samping dapat terjadi. IFC ternyata dapat menghasilkan diare saat digunakan untuk terapi inkontinensia urin sehingga diasumsikan bahwa IFC juga dapat digunakan untuk terapi konstipasi. Selanjutnya dilakukan sebuah penelitian pada delapan anak dengan konstipasi yang parah. Ternyata IFC yang diberikan 20-30 menit/sesi meningkatkan BAB pada lima dari delapan anak dan tujuh dari delapan anak berhenti soiling dengan efek terapi yang bertahan hingga lebih dari 3 bulan pada beberapa anak. IFC digunakan untuk terapi konstipasi pada anak dengan mielomeningokel dan memberikan hasil perbaikan yang signifikan. Arus interferensial dapat mendepolarisasi serabut saraf perifer melalui aplikasi dari elektroda yang ditempatkan di atas permukaan bidang area yang diterapi sehingga mengenai serabut syaraf motoris dan sensoris. Stimulasi listrik dapat memfasilitasi neuroplastisitas dan pembelajaran motorik dengan meningkatkan input aferen yang disinkronkan dengan informasi motorik dan sensorik. Pada frekuensi rendah menghasilkan kontraksi twitch, frekuensi 5-20 Hz menghasilkan kontraksi tetani parsial, dan frekuensi 30-100 Hz menghasilkan kontraksi tetani. Frekuensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 Hz sehingga diharapkan dapat memodulasi otot abdomen yaitu musculus rectus abdominus.
Berangkat dari hal tersebut Shofie Sabatini Verayunia, Sri Mardjiati Mei Wulan, Noor Idha Handajani, Andriati, Martha Kurnia Kusumawardani, Andy Darma, Reza Gunadi Ranuh, Soenarnatalina Melaniani melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui efek penambahan terapi IFC pada terapi standar (laktulosa) terhadap kekuatan otot abdomen pada anak palsi serebral dengan konstipasi. Penelitian ini merupakan penelitian true experimental dengan rancangan pre and post test randomized control group design. Penelitian dilakukan di Poli Rawat Jalan Instalasi Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Total subyek penelitian adalah 18 anak penderita CP yang mengalami konstipasi menurut kriteria ROMA IV, yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol yang mendapatkan terapi standar laktulosa dan kelompok perlakuan yang mendapatkan terapi standar laktulosa dan ditambahkan terapi IFC dengan frekuensi 4000-4100 Hz, durasi 20 menit, 3 kali seminggu selama 1 bulan. Parameter yang dievaluasi pada penelitian ini adalah nilai kekuatan otot abdomen saat istirahat dan saat kontraksi. Pengukuran dilakukan dua kali yaitu sebelum dan satu minggu pasca seri terapi IFC selesai.
Salah satu simpulan penting yang didapatkan pada penelitian ini adalah terapi IFC dapat memberikan efek menurunkan tonus otot secara signifikan yang berguna bagi pasien-pasien yang mengalami spastisitas seperti palsi serebral. Sedangkan efek dalam meningkatkan kekuatan otot pada saat kontraksi tidak terbukti secara signifikan, namun masih menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding hanya diberikan terapi standar saja. Hal ini bisa jadi bermanfaat bagi pasien anak dengan palsi serebral yang lebih susah untuk diberikan latihan penguatan secara rutin. Terapi IFC dapat menjadi alternatif terapi penunjang pada palsi serebral dengan konstipasi untuk memberikan respons klinis yang lebih baik.
Penulis: Shofie Sabatini Verayunia, Sri Mardjiati Mei Wulan, Noor Idha Handajani, Andriati, Martha Kurnia Kusumawardani, Andy Darma, Reza Gunadi Ranuh, Soenarnatalina Melaniani
Informasi detail dari penelitian ini dapat dilihat di Bali Medical Journal (Bali MedJ)
Berikut judul dan link artikel:
Judul : Improved Abdomen Muscle Activity with Interferential Current Therapy in Cerebral Palsy with Constipation: A Randomized Controlled Trial Study
Link : https://www.balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/view/3819