Secara global, cedera otak (Traumatic Brain Injury atau TBI) diketahui sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera otak dapat menimbulkan tidak hanya kecacatan fisik tetapi juga psikis. Berbagai macam program rehabilitasi baik secara konvesional tatap muka maupun secara daring (telehealth) diberikan untuk membantu para penyintas cedera otak menjalani kehidupan yang produktif. Namun, efektivitas layanan telehealth terhadap dampak yang ditimbulkan oleh cedera pada otak tsb masih menjadi perdebatan.
Studi komprehensif sistematis dan meta-analisis dari berbagai penelitian yang menguji efektivitas layanan telehealth pada penyintas dilakukan untuk mengetahui efek tindakan yang diberikan tsb. Studi ini melibatkan total 3158 penyintas cedera kepala baik ringan, sedang dan berat diberbagai negara seperti Amerika Serikat, Hong Kong dan Belanda, Layanan telehealth diberikan kepada para penyintas cedera otak. Termasuk mereka yang sedang melakukan rehabilitasi pasca cedera di rumah sakit, komunitas maupun pusat rehabilitasi- non rumah sakit).
Program telehealth dirancang untuk beberapa tujuan sbb; mengurangi gejala neurobehavioral, menurunkan depresi, meningkatkan kemampuan efikasi diri, mengurangi gejala atau keluhan fisik akibat gegar otak, mengatasi gangguan pada pendengaran (tinnitus), meningkatkan kualitas tidur, meningkatkan status fungsional dan kualitas hidup, mengurangi penyalahgunaan zat, dan membantu pemulihan kembali ke dunia kerja. Ukuran kelompok intervensi berkisar antara 14 hingga 198 individu. Media telehealth yang dipakai dalam penelitian ini meliputi teknologi berbasis Internet (Computer-assisted online, personal asisten digital/PDA) dan telepon. Layanan telehealth dilakukan oleh peneliti yang telah mengikuti pelatihan khusus, terapis pusat rehabilitasi, audiolog, psikolog, dan psikiater.
Penelitian membuktikan bahwa layanan telehealth dibandinkan dengan layanan konvensional tatap muka (face-to-face), secara klinis efektif dalam meningkatkan kemampuan manajemen efikasi diri. Temuan ini membantah hasil penenelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara telerehabilitasi dengan intervensi tatap muka konvensional. Namun, penelitian terbaru ini bahwa layanan telehealth lebih efektif daripada layanan kesehatan konvensional tatap muka (face-to-face). Hal ini menunjukkan bahwa penyintas cedera kepala dimanapun berada dapat tetap mendapatkan layanan kesehatan yang diberikan secara daring atau melalui program telehealth.
Sehubungan dengan dampak cedera terhadap neurobehavioral, pada penelitian ini juga diketahui bahwa program telehealth tidak memiliki manfaat yang signifikan dalam mengurangi gejala neurobehavioral seperti; gejala somatik, emosional, dan kognitif. Ketidakefektifan ini diketahui bersumber dari beragamnya dampak neuroheavioral yang dialami oleh penyintas cedera kepala. Contohnya, ketika layanan telehealth diberikan untuk menstimulasi kemampuan kognitif, penderita cedera kepala yang lainnya sedang mengalami masalah yang sama sekali tidak terkait dengan gangguan kognitif (misalnya, keuangan atau masalah ketenagakerjaan). Gejala neurobehavioral yang berbeda-beda yang dialami oleh penyintas cedera otak memerlukan intervensi telehealth khusus yang perlu disesuaikan dengan individu. Oleh karena itu penting untuk mengkaji secara khusus gangguan neurobehavioral yang dialamai oleh penyintas cedera kepala sebelum program telehealth diberikan.
Program telehealth juga kurang efektif dalam mengurangi depresi di antara penderita cedera otak berat. Studi sebelumnya melaporkan bahwa telerehabilitasi dan perawatan konvensional face-to-face sama efektifnya untuk mengatasi gejala depresi pada sekelompok orang dewasa dengan beragam level cedera; ringan, sedang, dan berat. Berdasarkan evaluasi Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale atau GCS), pada studi ini didapati hampir dua pertiga pasien yang terdaftar dalam program telehealth diklasifikasikan dengan cedera otak berat. Sehingga gejala depresi yang ditimbulkan lebih berat daripada depresi pada level cedera kepala yang lebih ringan.
Beragam faktor yang mempengaruhi keberhasilan layanan telehealth,diantaranya adalah penerimaan teknologi dan informasi, dan penggunaan teknologi. Termasuk kepribadian dan karakteristik individu pengguna teknologi informasi, keterlibatan penyedia layanan kesehatan, dan infrastruktur teknis. Ketepatan dalam memilih program rehabilitasi. Kesiapan penyintas cedera otak dalam program telehealth termasuk media telehealth yang relevan. Pemilihan program telehealth perlu diidentifikasikan berdasarkan karakteristik personal penyintas cedera otak. Selanjutnya, program telehealth dapat dirancang untuk dapat digunakan di rumah sakit, dalam unit rehabilitasi, rumah, atau lingkungan masyarakat.
Sejalan dengan strategi rehabilitasi 2030 yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang layanan rehabilitasi yang lebih efektif dan terintegrasi penyintas cedera kepala TBI, program telehealth memfasilitasi penyintas cedera otak untuk memiliki akses pada layanana konseling, terapi perilaku, dan dukungan emosional. Hasil penelitian ini berhasil membuktikan bahwa layanan telehealth memberikan manfaat yang positif bagi para penyintas cedera kepala.
Penulis: Ira Suarilah, S.Kp., M.Sc., Ph.D
Link Jurnal: https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1357633X221102264
Effectiveness of telehealth interventions among traumatic brain injury survivors: A systematic review and meta- analysis