Pandemi COVID-19 yang berasal dari Wuhan, China, telah tersebar secara global. Pada 18 Juli 2021, kematian kumulatif global akibat COVID-19 mencapai 4.086.000 orang. Pada saat yang sama, Indonesia melaporkan angka kasus terkonfirmasi sebanyak 2.832.755 orang dengan 72.489 kematian (tingkat fatalitas kasus: 2,8%), menjadikan Indonesia negara dengan kasus terkonfirmasi tertinggi dan kematian tertinggi di Asia Tenggara. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menegaskan bahwa lonjakan dramatis COVID‑19 baru yang sedang berlangsung dan berdampak terhadap kematian disebabkan oleh transmisibilitas tinggi dari varian Delta. Gugus Tugas Nasional untuk COVID‑19 pada bulan Juni 2021, melaporkan peningkatan 42% dari kasus terkonfirmasi dan kematian akibat COVID-19 di Indonesia.
Lima provinsi dengan kontribusi tertinggi kasus COVID-19 dan kematiannya adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Barat Jawa, dan Yogyakarta. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia segera merespon situasi tersebut dengan mengeluarkan regulasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM‑Darurat) untuk Jawa dan Bali mulai 3 Juli hingga 20 Juli 2021. Kebijakan ini berupa Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021, yang bertujuan untuk mengurangi COVID‑19 kejadian dan kematian harian di Indonesia. Kebijakan tersebut esesnisnya adalah mengurangi mobilitas masyarakat dan membatasi kontak fisik antar manusia secara langsung.
Pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat bukan pendekatan baru di Indonesia. Pada tanggal 11 Mei 2020, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di 4 provinsi dan 22 kota. Inisiator program dan kebijakan PSBB saat itu adalah gubernur dan walikota. Selain itu, PSBB diterapkan, hanya sektor esensial yang diperbolehkan beroperasi. Namun, dari data yang ada dilaporkan bahwa kebijakan PSBB gagal untuk memperlambat pertumbuhan kasus konfirmasi harian COVID‑19 di Indonesia sebagai jumlah rata-rata kasus baru yang dikonfirmasi terus berlanjut lonjakan sebelum dan selama implementasi.
Belajar dari kegagalan sebelumnya, pemerintah Indonesia menerapkan strategi yang sama dengan jangkauan wilayah yang lebih luas dan pembatasan-modifikasi dengan kebijakan PPKM‑Darurat untuk seluruh kota dan kabupaten di Jawa dan Bali. Inisiator dari kebijakan pembatasan aktivitas publik darurat adalah pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus mengikuti instruksi tanpa terkecuali. Sedikit berbeda dengan pelaksanaan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sektor non-esensial diizinkan beroperasi komposisi 75% work from home (WFH) dan 25% work from office (WFO) dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat selama PPKM-Darurat.
Studi terkait penerapan PPKM-Darurat sebagai parameter epidemiologi di Provinisi Jawa Timur menunjukkan dari 38 Kabupaten/Kota terdapat 18 kabupaten/kota yang diamati mengalami kecenderungan peningkatan pada aspek kejadian harian (daily incident) dan terdapat 9 kabupaten/kota yang mengalami kecenderungan peningkatan pada aspek kematian harian (daily mortality). Namun demikian, terdapat satu kabupaten/kota yang menunjukkan kecenderungan penurunan pada aspek kejadian harian (daily incident) selama pelaksanaan PPKM-Darurat, yaitu Kabupaten Madiun. Sumber data dari penelitian ini adalah dari https://infocovid19.jatimprov.go.id/ dengan kerangka waktu 14 Juni-25 Juli 2021.
Penelitian ini secara mendetail menunjukan bahwa peningkatan kejadian harian (daily incident) tertinggi telah terjadi di Kota Blitar dengan perubahan 664,73%; hal ini berarti insiden harian meningkat 6 kali lipat selama pelaksanaan dibandingkan dengan sebelum PPKM-Darurat, diikuti Kabupaten Situbondo (487,49%) dan Kabupaten Sumenep (430,88%). Peningkatan tertinggi kematian harian (daily mortality) terjadi di Kabupaten Tuban dengan perubahan 559,17%, yang berarti peningkatan lima kali lipat kematian harian, diikuti oleh Kabupaten Madiun (380,84%) dan Kabupaten Blitar (199,92%).
Studi ini juga melakukan analisis pada tingkat provinsi secara agregat, dan dari hasil analisis yang dilakukan menunjukan bahwa tidak ada penurunan pada aspek kejadian harian maupun pada aspek kematian harian selama PPKM-Darurat diberlakukan. Sehingga dari beberapa temuan diatas dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa regulasi PPKM-Darurat belum optimal dalam mengurangi kejadian harian COVID‑19 dan kematian di Provinsi Jawa Timur Indonesia selama 1 bulan pelaksanaan.
Mengapa PPKM-Darurat Gagal?
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya kegagalan kebijakan PPKM-Darurat di Provinsi Jawa Timur. Faktor tersebut antara lain adalah transmisibilitas yang tinggi dari varian delta, dan kurangnya kepatuhan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan.
Mutasi virus corona menjadi salah satu perhatian utama selama pandemi; WHO melaporkan bahwa varian Delta adalah varian yang berbahaya dan telah dilaporkan di 96 negara. Sebuah penelitian yang dilakukan di China melaporkan bahwa viral load dari kasus infeksi virus Delta pertama yang dikonfirmasi adalah sekitar 1000 kali lebih tinggi daripada varian COVID-19 sebelumnya di awal tahun 2020 dan bisa lebih menular selama tahap awal infeksi.
Isu berikutnya adalah terkait dengan kepatuhan masyarakat terhadap protocol Kesehatan. Laporan mingguan yang dirilis oleh Gugus Tugas Nasional untuk COVID‑19 menunjukkan bahwa pada tanggal 19–25 bulan Juli Tahun 2021, tingkat kepatuhan masyarakat untuk memakai masker di Provinsi Jawa Timur sebesar 94,48%, dengan tingkat keragaman di setiap kabupaten dari kepatuhan tingkat menengah ke tinggi. Tingkat kepatuhan terendah dilaporkan di Kabupaten Pasuruan dengan hanya 78,85%, dan tertinggi di Ponorogo Kabupaten dengan 99,22%. Adapun jarak fisik dan menghindari keramaian, tingkat kepatuhan Provinsi Jawa Timur adalah 91,61%. Tingkat kepatuhan terendah dilaporkan di kabupaten yang sama sebesar 70,99% dan tertinggi masih sebesar Kabupaten Ponorogo dengan kepatuhan 100%. Laporan menunjukkan bahwa warga di beberapa kabupaten kurang mengikuti protokol kesehatan selama pelaksanaan PPKM‑Darurat.
Lebih jauh, kebijkan pembatasan mobilitas dan kerumunan cenderung akan terjadi dampak jika diimplementasikan berdekatan momennya dengan puncak kejadian yang sebenarnya dan dilakukan selama minimal 3 bulan. Studi ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan memperpanjang PPKM‑Darurat, khususnya di Timur Provinsi Jawa.
Penulis : Hario Megatsari, S.KM., M.Kes