Universitas Airlangga Official Website

Eksistensi Film: Hiburan atau Kritik Sosial ?

Film, dalam masyarakat modern saat ini, perannya telah semakin berubah. Apabila telisik lampau kita menilai film sebagai sebuah media dalam mendapatkan hiburan semata, namun saat ini film lebih dari sekedar cerita yang tidak hanya kita nikmati dalam kegelapan ruang bioskop saja.

Eksistensi film saat ini berjalan pada arah media yang kritis. Semakin banyak film-film yang berusaha mendobrak realitas dan menyampaikan pesan kritis dari kehidupan kita. Film tidak lagi hanya sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi juga menjadi cermin bagi kita dalam melihat dan mempertanyakan aspek-aspek kehidupan yang sering diabaikan. Kekuatannya, film adalah media audio dan visual, sehingga lebih banyak lanskap yang dapat kita lihat, dengar, dan rasakan tentang berbagai isu dan kondisi realitas masyarakat kita saat ini.

Laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat pada tahun 2020 terdapat 3.423 produksi film di Indonesia. Angka ini tentu tidak hanya dapat dilihat dari segi kuantitas produksi yang kian bertambah, tetapi juga keragaman tema dan pendekatan yang diambil oleh para sineas.

Era dekade 2010-an dapat dibilang menjadi era “liarnya” industri film di Indonesia. Hadirnya para sineas dengan karya-karya film mereka yang berani dalam mengangkat isu-isu di masyarakat. Sebut saja film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” tahun 2017 karya Mouly Surya tentang seorang perempuan yang berjuang dan kritis atas norma patriarki di masyarakat.

Sosok Marlina pada saat itu banyak mendapat sorotan manca negara. Kritik kontemporer bagaimana kondisi hukum dan birokrasi di Indonesia yang lemah dan ‘gagal’ memberikan respon terhadap rakyatnya hingga sosok perempuan yang masih dianggap sebagai objek seksualitas, berusaha untuk menyelipkan pesan-pesan tentang ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan ketidakpastian yang masih menjadi masalah dalam masyarakat.

Beranjak pada dekade 2020-an menjadi era “ganasnya” perfilman di Indonesia. Di tahun 2021, rilisnya film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, “Yuni”, “Penyalin Cahaya”, dan “Jakarta vs Everybody”, serta “Like and Share” menjadi semakin tajamnya kritik yang disampaikan tentang masalah seksualitas dan gender di masyarakat.

Film, sebagai gambaran dari realitas manusia, berarti bahwa film membentuk dan mempersembahkan kembali realitas yang ada tersebut melalui penggunaan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi kebudayaan manusia (Turner, 2012). Balász, Bazin, dan Kracauer dalam Hayward (2018) menjelaskan bahwa film dapat terhubung dengan aktivitas sosial, yaitu ketika film secara jelas menggambarkan kehidupan masyarakat dan interaksinya dengan individu, tetapi selain itu, film juga mengungkapkan keadaan dan kondisi dalam masyarakat.

Isu-isu seksualitas dan gender menjadi poin sentral dalam banyak karya sinema terbaru. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa meskipun telah ada kemajuan dalam kesetaraan gender dan pengakuan terhadap keberagaman seksual, masalah-masalah terkait masih menjadi perhatian utama dalam masyarakat kita. Dalam beberapa kasus, film-film tersebut menjadi cermin yang menggambarkan realitas pahit dari ketidakadilan, diskriminasi, dan kekerasan yang masih melanda kaum minoritas seksual dan gender di Indonesia.

Pentingnya kritik atas isu-isu seksualitas dan gender dalam film adalah karena film tidak hanya sekedar hiburan, tetapi juga merupakan representasi dari realitas manusia. Isu seksualitas dan gender menjadi isu hangat karena mereka mencerminkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang masih ada dalam masyarakat. Diskriminasi terhadap seks dan gender tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak ramah bagi individu yang berbeda orientasi seksual atau identitas gender.

Selain itu, isu-isu ini juga dekat kaitannya dengan hak kita sebagai manusia. Tercermin melalui hak asasi manusia, bahwa kita sebagai individu memiliki hak untuk hidup dengan martabat dan kebebasan tanpa diskriminasi dan intervensi dari siapapun. Oleh karena itu, perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan ini adalah bagian dari perjuangan hak asasi manusia yang lebih luas.

Film memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi dan sikap kita terhadap berbagai isu yang ada di masyarakat. Mereka dapat membangkitkan empati, menginspirasi perubahan, dan menggugah tindakan.

Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk mendukung film-film yang berani mengangkat isu-isu ini dengan cara yang sensitif dan berempati. Kita perlu membuka diri untuk mendengarkan pengalaman orang lain dan memperluas pandangan kita tentang dunia.

Tentu saja, film bukanlah satu-satunya solusi untuk masalah kompleks seperti diskriminasi seksual dan gender. Namun, mereka dapat menjadi salah satu alat yang efektif untuk membangun kesadaran dan menginspirasi perubahan yang lebih besar dalam masyarakat. Sebagai penonton, kita memiliki tanggung jawab untuk mendukung film-film ini dan menjadi bagian dari perubahan positif dalam masyarakat kita. Bagaimana menurut anda?

Penulis: Dimas Ramadhiansyah (Asisten Dosen Departemen Komunikasi / Sekretaris Wakil Dekan III FISIP UNAIR)