Tanaman duku (Lancium domesticum), diketahui dapat tumbuh subur di negara-negara tergolong subtropis seperti Malaysia, Taiwan, Filipina, Brunei darussalam dan sebagainya, sedangkan di Indonesia tumbuh subur di beberapa pulau dengan ketinggian 50-100 di atas permukaan laut (dpl). Tanaman tersebut merupakan induk semang dari tanaman parasit, yaitu Benalu Duku atau Dendrophthoe pentandra L. Miq, dan banyak ditemukan di tanaman induk semangnya. Tanaman parasite itu dicirikan dengan tanaman bertangkai keras, berdaun lebar dan berbunga setiap periode waktu tertentu dalam setahun. Daun dari tanaman parasite tersebut sejak 1991, telah dipantau pemanfaatannya sebagai anti-kanker pada manusia oleh peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Fenomena empirik tersebut akhirnya dikembangkan oleh tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan tiga Perguruan Tinggi di Malaysia, sebagai anti virus ayam yaitu penyebab penyakit Tetelo (Newcastle diseases). Penyakit tersebut hingga saat ini merebak cukup sering dalam setahun dan menyerang ayam secara cepat dan ganas dengan implikasi merugikan secara ekonomi. Sampai saat ini tindakan untuk mencegah kemunculan penyakit tersebut hanyalah berdasarkan upaya pengebalan daya tahan tubuh terhadap penyakit tersebut (imunisasi) dengan cara vaksinasi. Berkaca dari perilaku anti-kanker yang didapatkan dari studi terdahulu terhadap khasiat BD, maka peneliti mencoba menarik senyawa mirip kuersetin (Quercetin-like compounds) yang terdapat pada daun BD. Metabolit sekunder tersebut ternyata dapat diperoleh sekitar 20% dari ekstrak daun BD dan memiliki ciri serbuk berwarna kuning tidak larut dalam air namun larut dalam pelarut organik seperti alkohol, etanol dan metanol.
Serbuk metabolit sekundair tersebut pada akhirnya di cobakan dengan melarutkan dalam pelarut khusus alam perbandingan 1: 50 sehingga menjadi bentuk solutio dan dicobakan untuk membunuh pertumbuhan virus hidup hasil isolasi dari ayam penderita Tetelo secara buatan (in-vitro). Ternyata hasil percobaan tersebut menemui fenomena yaitu mampu mematikan virus aktif tersebut dengan kekuatan daya bunuh 0.05% (bobot/volume) setiap pengenceran virus 10−5. Dampak tersebut menghasilkan harapan baru terhadap penyakit pada manusia yang diakibatkan oleh virus dengan memodifikasi struktur kimia metabolit sekundair tersebut. Bentuk modifikasi tersebut diperkirakan akan menghasilkan kekuatan bunuh berkali-kali lipat terhadap bagian yang memiliki struktur kimia mirip senyawa aromatik sederhana, atau senyawa dengan jenis kemiripan seperti 7-hydroxy-1-methoxy-2-methoxyxanthone. Metabolit sekundair yang didapat dari daun BD tersebut cukup kuat untuk membunuh sekumpulan virus Tetelo cukup dengan kemampuan 0,05%.
Konsentrasi daya bunuh tersebut dapat ditingkatkan tergantung dari kadar pengenceran dalam larutan pengencer virus. Beberapa virus segolongan dengan virus penyakit Tetelo yaitu virus penyebab penyakit radang tenggorokan ayam dam hidung (virus Paramyxo-1). Penyakit segolongan dengan virus penyebab penyakit Tetelo, cukup ganas dan cepat pula menyebabkan kematian pada ayam kendati tidak menghasilkan gejala leher berputar. Ditinjau dari kemungkinan pengembangan obat baru asal tanaman untuk pengobatan ayam, cukup strategis mengingat tidak menyebabkan residu berbahaya untuk tubuh manusia saat ayam tersebut dipotong pasca pengobatan. Selain itu perolehan anti-virus untuk unggas berbasis tanaman sangat minim kejadian resistensi terhadap metabolit sekunder tersebut mengingat struktur obat tanaman umumnya sangat stabil akibat ciptaan Yang Maha Kuasa. Stabilitas tersebut amat memungkinkan memiliki kekuatan bunuh tetap meskipun jenis virus Tetelo target memiliki daya virulensi berbeda-beda.Â
Upaya untuk mendapatkan bahan-baku asal tanaman tersebut Dendrophthoe pentandra L. Miq, yang paling memungkinkan yaitu membudidayakan tanaman benalu duku dalam tanah buatan secara masal. Cara tersebut dikembangkan pula untuk jenis tanaman benalu lain seperti benalu teh dan benalu bambu. Dengan demikian akan mendapatkan sumber tanaman obat berkualitas tinggi serta seragam sehingga bahan aktif yang terkandung di dalam tanaman tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku obat hewan alami serta aman dalam penggunaannya.
Oleh Mochamad Lazuardi
Baca juga: Hubungan One Leg Stand Test dengan Skala Keseimbangan pada Anak 7-12 Tahun