Infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan global yang serius. Di Indonesia, sebanyak 28,1% penyebab utama kematian di Indonesia disebabkan oleh infeksi. Infeksi terjadi disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan protozoa. Selama pandemi covid global, kasus malaria meningkat 205 juta lebih. Selain malaria, kontaminan lain yang menyebabkan penyakit menular adalah bakteri. Escherichia coli dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab penyakit diare. Malaria dan diare merupakan sepuluh penyakit menular terpopuler di Indonesia.
Baru-baru ini, masalah resistensi antibiotik dan antimalaria telah muncul. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan daftar patogen prioritas untuk meningkatkan upaya penelitian dalam pencarian antibiotik dan antimalaria baru, untuk mengatasi masalah resistensi. Salah satu sumber pencarian obat baru adalah dengan menggunakan tanaman obat yang berasal dari alam. Penelitian menunjukkan bahwa komponen aktif dalam tanaman obat memiliki efek antimikroba yang berbeda mekanisme kerjanya dengan antibiotik yang telah ada selama ini. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman obat berpotensi mengatasi masalah resistensi.
Salah satu tanaman obat yang sering digunakan di Indonesia adalah tanaman dari famili Asteraceae, tanaman dari famili Asteraceae yang dikenal luas oleh masyarakat sebagai tanaman yang mudah tumbuh dan banyak digunakan sebagai obat, Sonchus arvensis. L.. Berdasarkan hasil skrining fitokimia dari penelitian Wahyuni ​​dkk (2020) diketahui bahwa daun S. arvensis L. mengandung berbagai komponen bioaktif seperti flavonoid, terpenoid, dan polifenol yang dapat berperan sebagai antioksidan, hepatoprotektor, diuretik, dan berpotensi sebagai agen antimalaria. Tempuyung juga memiliki aktivitas antimikroba. Hal ini berdasarkan kandungan kimia tempuyung, flavonoid dapat mempengaruhi polaritas lipid penyusun DNA bakteri, dan alkaloid dapat merusak penyusun peptidoglikan sel bakteri. S. arvensis L. memiliki potensi sebagai agen antimalaria berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyuni dkk (2021) bahwa ekstrak metanol kalus tempuyung yang diberi perlakuan sukrosa 1-5% diuji antimalaria secara in vitro menggunakan metode Trager dan Jensen dan diuji terhadap plasmodium strain 3D7 memiliki nilai IC50 sebesar 0,343 g/ml. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tapan (2016), uji HPLC Chromatogram pada ekstrak etanol 80% daun tempuyung menghasilkan senyawa asam askorbat, asam galat, katekin, dan kaempferol yang dipercaya dapat berperan sebagai antibakteri. Berdasarkan penelitian Xia et al. (2011), ekstrak metanol tempuyung memiliki nilai fenolik total 417,3 ± 38,3 mg/g GAE berat kering dan uji antibakteri memiliki nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) 9,5 – 16 mg/ml. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kanaani dan Sani (2015), ekstrak metanol tempuyung memiliki nilai KHM dan Konsentrasi Bakteri Minimum (MBC) sebesar 50-100 mg/ml dan 400≥400 mg/ml yang diujikan pada Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Salmonella enterica, dan Escherichia coli. Penelitian lain juga melaporkan bahwa ekstrak n-heksan daun tempuyung menggunakan kromatografi kolom dan dipisahkan dengan beberapa fraksi pelarut mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 9 mm, dan Escherichia coli sebesar 8 mm dengan konsentrasi 1000ppm (Sukadana, 2011).
Laporan studi terbaru menunjukkan bahwa frakti etil asetat daun tempuyung memiliki aktivitas antioksidan dan antiplasmodial menunjukkan bahwa fraksi IV adalah nilai terendah dan dikategorikan aktif untuk antioksidan (22,56μg/mL) dan aktif untuk antiplasmodial (12,068 μg/mL). Fraksi IV juga memiliki aktivitas antimikroba, dengan zona hambat minimum 19,217 mm terhadap E.coli dan 17,167 mm terhadap S. aureus.Temuan baru ini dapat mengarahkan pada isolasi dan identifikasi senyawa aktif untuk aplikasi farmasi lebih lanjut.
Penulis: Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si., M.Si.