Industri kelapa sawit merupakan salah satu sumber utama penghasil minyak nabati, produk kimia, dan energi. Hal ini menyebabkan industri kelapa sawit berkembang pesat karena meningkatnya permintaan. Sebagai komoditas unggulan, kelapa sawit memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia karena kelapa sawit merupakan industri padat karya dan bernilai tinggi (Kementerian Pertanian [Kementan], 2017). Kelapa sawit memiliki keunggulan antara lain sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan rumah tangga, dan sumber penghasil devisa negara (Irawan & Soesilo, 2021). Hasil dari produksi kelapa sawit dapat diolah menjadi beberapa macam jenis minyak, antara lain Crude Palm Oil (CPO), Other Palm Oil, Crude Oil of Palm Kernel (PKO), dan Other Palm Oil Kernel (BPS, 2021). Salah satu hasil olahan dari kelapa sawit yang berkontribusi paling besar terhadap ekspor dan menjadi sumber penghasil devisa adalah Crude Palm Oil (CPO) (Departemen Perindustrian, 2007). Lebih jauh, hasil dari ekspor CPO berkontribusi lebih besar terhadap devisa negara Indonesia dibandingkan dengan batubara, minyak bumi, dan gas. Komoditas CPO juga menjadi salah satu sumber penopang hidup bagi sebagian masyarakat di pedesaan, selain dari komoditas karet dan tanaman komersil lainnya (Bakhtiar et al., 2019).
Di sisi lain, peningkatan produktivitas industri CPO tersebut juga dapat menyebabkan beberapa dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Adapun dampak negatifnya adalah meningkatnya emisi karbon dioksida atau CO2 yang diakibatkan oleh efek rumah kaca (Inubushi et al., 2003; Jamaludin et al., 2019) serta polusi udara dan air yang disebabkan pengolahan limbah cair pabrik CPO yang mengeluarkan gas metana (Szulczyk & Khan, 2018). Sedangkan, hal ini berbanding terbalik dengan yang dipromosikan oleh negara-negara penghasil CPO di Asia Tenggara yang mengatakan bahwa CPO merupakan sumber energi terbarukan. Permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan dari makin berkembangnya industri CPO inilah yang menyebabkan keberlangsungan produksinya menjadi terancam. ebih jauh, masalah-masalah yang sudah dijelaskan di atas dapat menghambat pertumbuhan industri CPO di Indonesia sehingga berpengaruh terhadap tingkat efisiensi dan produktivitas industri tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan instrumen khusus sebagai alat analisis perhitungan pertumbuhan output CPO. Salah satu konsep dari pengukuran efisiensi dan pertumbuhan output ini adalah dengan menggunakan metode Total Factor Productivity (TFP).
Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data firm level industri CPO yang berasal dari industri besar hingga sedang yang ada di Indonesia pada tahun 2010–2014 dengan lima digit kode International Standard Industrial Classification (ISIC), yaitu 10431. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil survei tahunan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang diperoleh masih berupa raw data unbalanced sebanyak 2.750 perusahaan, kemudian data tersebut diseleksi dan disesuaikan menjadi balanced panel data sebanyak 2.155 perusahaan.
Penelitian ini menggunakan spesifikasi model Stochastic Frontier Analysis yang mengacu pada penelitian See & Coelli (2013) dengan beberapa berubahan. Model Translog yang digunakan adalah sebagai berikut
Nilai rata-rata TEC industri CPO di Indonesia selalu mengalami penurunan dan memperoleh hasil yang negatif. Untuk itu, industri CPO di Indonesia dapat dikatakan belum efisien. Selanjutnya, hampir setiap tahun nilai TC selalu menunjukkan hasil negatif, kecuali pada periode 2011–2012 yang menunjukkan nilai positif, meskipun relatif rendah. Nilai TC yang negatif mengindikasikan terjadi kemunduran teknologi pada industri CPO di Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya kemunduran teknologi adalah sebagian besar perusahaan masih menggunakan mesin lama untuk proses produksinya. Rata-rata SEC hampir selalu menunjukkan nilai negatif, kecuali pada periode 2012–2013 yang memiliki nilai positif, meskipun tergolong rendah. Namun, pada periode selanjutnya, nilai rata-rata SEC kembali ke arah negatif.
Perubahan yang sangat cepat tersebut disebabkan karena kombinasi antara input produksi dan teknologi yang digunakan belum efektif untuk menurunkan biaya produksi. Hal ini mengakibatkan output tidak efisien dari sisi skala produksi. Kemudian, secara keseluruhan, nilai rata-rata TFP industri CPO menunjukkan nilai negatif sehingga menyebabkan tingkat inefisiensi masih ditemukan. Nilai negatif tersebut juga mengindikasikan bahwa TEC, TC, dan SEC berpengaruh relatif lemah. Pertumbuhan TFP lebih banyak didorong oleh TEC dibandingkan dengan TC dan SEC. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan TEC untuk meningkatkan pertumbuhan TFP industri CPO di Indonesia. Terakhir, secara keseluruhan, nilai elastisitas industri CPO di Indonesia mengindikasikan terjadinya decreasing return to scale. Lebih jauh, hasil estimasi elastisitas output terhadap masing-masing input menunjukkan bahwa perubahan output lebih banyak didorong oleh perubahan input bahan baku daripada modal, tenaga kerja, dan energi. Untuk itu, dalam memperoleh output yang optimal harus melakukan peningkatan pada input bahan baku.
Penulis: Dyah Wulan Sari