UNAIR NEWS – Perjalanan ke Tanah Suci selalu menjadi impian banyak umat Muslim. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menunaikan ibadah haji melalui jalur konvensional. Belakangan ini, fenomena masyarakat yang memilih berjalan kaki, menaiki sepeda ontel, atau bahkan menggunakan perahu menuju Mekkah. Aksi ini menimbulkan perdebatan, apakah ini bentuk ketulusan spiritual atau justru simbol ketimpangan sosial yang semakin tajam?
Perjalanan Spiritual dalam Balutan Sensasi
Dekan sekaligus Guru Besar FISIP UNAIR, Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi, menyoroti bagaimana fenomena ini berkembang di era digital. Terkhusus beberapa individu yang melakukan perjalanan ekstrim ke Mekkah turut memanfaatkan media sosial untuk menyiarkan perjalanannya secara langsung.
“Sebagai perjalanan spiritual, tentu yang penting adalah niat di hati. Kita tidak memiliki hak untuk menilai niat seseorang, karena itu hal yang sangat personal. Namun, ketika perjalanan ini ditampilkan di media sosial untuk mencari perhatian atau ‘like’, maka ada risiko entropi makna. Perjalanan haji bukanlah sesuatu yang perlu dipamerkan,” ujarnya.

Ibadah Berbasis Solidaritas atau Komodifikasi Ibadah?
Menurutnya, muncul kekhawatiran bahwa perjalanan ini bisa berubah menjadi komodifikasi ibadah, yang mana aspek ritual justru tersingkirkan oleh aspek tontonan. Dalam kasus tertentu, aksi itu bahkan mendapat dukungan materi dari masyarakat yang simpatik, sehingga menimbulkan kritik bahwa praktik ini bisa berujung pada eksploitasi donasi.
Mereka menerima makanan, tempat beristirahat, bahkan uang saku dari warga yang bersimpati. Ini menimbulkan dua sudut pandang berbeda: apakah ini menunjukkan solidaritas sosial yang masih kuat di masyarakat, atau justru menggambarkan bagaimana kemiskinan sistemik melahirkan praktik ibadah yang berbasis pada ketergantungan sosial.
“Wajar jika ada yang khawatir perjalanan ini dimanfaatkan untuk tujuan lain. Jangan sampai yang terjadi justru komodifikasi perjalanan haji,” tambahnya.
Resistensi Sosial terhadap Kapitalisasi Haji
Dari perspektif sosiologi, fenomena itu juga bisa dimaknai sebagai bentuk resistensi sosial terhadap modernisasi ibadah haji yang semakin eksklusif. Biaya naik haji terus meningkat, sementara kuota haji reguler terbatas. Akibatnya, bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah, jalur ekstrem ini menjadi satu-satunya cara untuk mewujudkan impian mereka.
“Mungkin saja ini adalah bentuk protes terhadap ketimpangan akses ibadah haji. Namun, dengan memanfaatkan media sosial untuk menunjukkan hal itu, justru bisa menurunkan pandangan masyarakat terhadap niat baik mereka,” ungkapnya.
Lebih dari itu, fenomena itu juga menjadi cermin dari ketimpangan ekonomi dalam akses ibadah. Jika biaya haji terus melambung, bukan tidak mungkin lebih banyak orang yang memilih jalur ekstrim sebagai bentuk ekspresi perlawanan terhadap sistem yang tidak berpihak pada mereka.
Penulis: Sintya Alfafa
Editor: Khefti Al Mawalia