Universitas Airlangga Official Website

Gubes UNAIR Teliti Ritual Pertanian Masyarakat Bali sebagai Upaya Pelestarian Bahasa Daerah

Prof Dr Dra Ni Wayan Sartini MHum menyampaikan orasi ilmiah dalam sidang terbuka pengukuhan guru besar pada Rabu (20/12/2023) di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR. (Foto: PKIP UNAIR)

UNAIR NEWS – Prof Dr Dra Ni Wayan Sartini MHum melakukan penelitian terhadap ritual pertanian masyarakat Bali sebagai upaya pelestarian bahasa daerah. Penelitian tersebut ia paparkan langsung dalam sidang terbuka pengukuhan guru besar (gubes) pada Rabu (20/12/2023) di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR. Dalam prosesi tersebut, ia resmi menyandang gelar guru besar dalam bidang Ilmu Etnolinguistik, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga (UNAIR). 

“Bahasa itu ibarat pasien. Bahasa juga bisa sekarat dan kritis. Lama-kelamaan, dia (bahasa, Red) bisa mati. Bahasa seperti organisme yang hidup, lahir, dan berkembang. Kemudian, jika suatu bahasa tidak digunakan lagi, maka bahasa tersebut bisa mati,” ungkapnya.  

Prof Wayan menyampaikan bahwa salah satu upaya yang dapat masyarakat Bali lakukan untuk melestarikan bahasa daerah adalah melalui ritual pertanian. Menurutnya, ritual pertanian dan pelestarian bahasa daerah memiliki hubungan yang erat. Ritual pertanian Bali tidak hanya memberikan kontribusi pada pelestarian lingkungan, tetapi juga memainkan peran penting dalam melestarikan bahasa Bali. 

Dalam hal ini, sambungnya, leksikon-leksikon dalam tahapan ritual pertanian masyarakat Bali memiliki makna simbolik dan kearifan lokal tentang budaya Bali. Leksikon-leksikon tersebut mencerminkan sikap, etika, pandangan hidup, dan filosofi masyarakat Bali. Oleh sebab itu, pengidentifikasian leksikon-leksikon ritual pertanian dapat menjadi cara yang sangat baik untuk mendokumentasikan dan memahami budaya pertanian masyarakat Bali.

“Bahasa dan budaya adalah dua hal yang berkaitan erat satu sama lain. Ritual pertanian masyarakat Bali dengan menggunakan bahasa Bali bukan sekadar serangkaian upacara. Melainkan juga menerapkan filosofi Tri Hita Karana yaitu menggambarkan tiga hubungan, manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam,” jelas dosen prodi Bahasa dan Sastra Indonesia itu. 

Lebih lanjut, dosen pengampu mata kuliah Etnolinguistik itu mengatakan pelestarian istilah-istilah dalam ritual pertanian masyarakat Bali juga dapat memperkuat khazanah kosakata dalam bahasa Indonesia. Leksikon-leksikon tersebut dapat memberikan sumbangan yang berharga terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan beberapa alasan sebagai berikut. 

Pertama, leksikon ritual pertanian mengandung kosakata lokal yang tidak umum digunakan dalam bahasa sehari-hari. Kedua, kata-kata dalam leksikon ritual pertanian seringkali memiliki makna yang mendalam, terkait dengan tradisi, ritual, dan kepercayaan. Ketiga, peningkatan penggunaan istilah teknis di mana ritual pertanian sering melibatkan istilah-istilah teknis yang unik untuk praktik pertanian tradisional. 

Pada akhir, Prof Wayan menekankan bahwa pelestarikan bahasa Bali melalui ritual pertanian memerlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak mulai dari komunitas lokal, pemerintah, lembaga pendidikan, hingga media. Ia pecaya, melalui upaya kolaboratif tersebut bahasa Bali dapat tetap lestari dan terus diwariskan dari generasi ke generasi melalui praktik ritual pertanian yang kaya akan nilai budaya. 

“Menjadi global tidaklah harus kehilangan nilai-nilai lokal. Mari bersama membangun tradisi, mari membangun negeri dengan tradisi. Seperti rekognisi Fakultas Ilmu Budaya UNAIR, ‘Membangun Negeri Berbasis Tradisi’,” pungkasnya. (*)

Penulis: Rafli Noer Khairam

Editor: Khefti Al Mawalia