Disadari atau tidak, hari buruh dan hari pendidikan berhimpitan. May Day atau Hari Buruh Sedunia diperingati setiap tanggal 1 Mei. Hari Buruh Internasional merupakan momentum yang ditandai dengan perjuangan buruh untuk menuntut kesejahteraan. Pada hari esoknya 2 Mei diperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hardiknas memperingati kelahiran dari kiprah Bapak Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan.
Dari peringatan kedua hari tersebut, berkorelasi kuat atas isu laten di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang melakukan peran ganda yaitu belajar dan bekerja freelance. Secara general pekerjaan freelance yaitu bekerja mendapat gaji sesuai kesepakatan antara pekerja dengan yang mempekerjakannya. Sedangkan volunter didefinisikan sebagai seseorang yang tanpa dibayar dengan sukarela menyediakan waktu dan kemampuannya untuk tujuan tertentu, baik di bidang pendidikan, lingkungan, sosial dll.
Berkaitan dengan hal itu, cenderung mahasiswa memiliki mimpi karir yang gemilang di usia muda. Program magang menjadi salah satu jodoh untuk mewujudkan mimpi itu. Namun, magang sebenarnya diasosiasikan sebagai volunter ataukah freelancer?
Mengenal Regulasi
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2020 pasal 13 tentang hak peserta pemagangan berbunyi tegas, “Peserta pemagangan mempunyai hak untuk, (a) memperoleh bimbingan dari pembimbing pemagangan atau instruktur; (b) memperoleh pemenuhan hak sesuai dengan perjanjian pemagangan; (c) memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti pemagangan; (d) memperoleh uang saku; ( e ) diikutsertakan dalam program jaminan sosial; dan (f) memperoleh sertifikat pemagangan atau surat keterangan telah mengikuti pemagangan. Uang saku sebagaimana dimaksud pada huruf (d) meliputi biaya transportasi, uang makan dan insentif peserta pemagangan.
Keadaan lapangannya banyak pemangku kepentingan perusahaan / mitra tidak memberikan kewajibannya atas hak yang seharusnya didapat peserta magang.
Mahasiswa yang melakukan program magang memaknainya sebagai sebuah simulasi kerja, bahkan hanya sebatas meng-upgrade CV. Mereka ada yang secara ikhlas memaklumi kebijakan lembaga yang tidak memberinya royalti.
Melihat persoalan ketidakjelasan regulasi magang, Kementerian Pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi Republik Indonesia menawarkan berbagai program magang yang dikhususkan mahasiswa, salah satunya Merdeka Belajar dengan sentuhan pemberian living-cost atau bahasa sederhananya uang bonus belajar. Hal ini menjadi solusi menarik untuk memutus rantai ketidakjelasan skema magang.
Perbantuan Mahasiswa
Setelah menilik perbantuan mahasiswa di sebuah mitra kerja, kini beralih perbantuan mahasiswa di sebuah institusi. Menanggapi berbagai keluh kesah sesama teman mahasiswa yang secara sukarela menghibahkan tenaga dan pikirannya untuk menjadi Asisten Praktikum (Asprak).
Asisten praktikum adalah asisten tenaga pengajar kegiatan praktikum yang ditugaskan oleh dosen pengampu untuk memberikan materi praktik atau implementasi langsung kepada praktikan. Secara istilah ‘asisten’ ialah orang yang bekerja pada orang lain dalam menjalankan tugas secara profesional. Dalam hal ini, satu hal yang penting untuk disadari adalah bahwa sebagai pekerja sebenarnya kedudukan finansial menjadi hal yang krusial. Akan tetapi, beberapa diantara mereka ada yang hanya digaji ucapan terimakasih bahkan hanya haha-hihi bersama dosen.
Tak ayal, menurut tokoh politik dr. Soekiman Wirjosandjojo bahwa hukum tanpa kekuasaan akan menimbulkan anarki. Sebaliknya, kekuasaan tanpa hukum meninggalkan tirani. Senada dengan kepelikan yang dirasakan beberapa rekan saya sebagai Asprak, mereka mendedikasikan waktunya skip kelas bahkan kelewat kuis. Terkadang dituntut menjadi pesulap. Artinya diberi mandat dadakan dengan tenggat waktu yang singkat. Belum lagi tugas repetitif, yakni harus menyiapkan ppt, koordinasi dengan laboran untuk menyiapkan bahan dan alat praktikum, membuat soal pre dan post test.
Terlebih di rumpun saintek, pergumulannya tak lepas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya. Sistem kerjanya setiap kelas berlangsung selama 110 menit. Tinggal dikali berapa kelas yang dibimbing. Para asprak bekerja secara shift berdasarkan jadwal kesibukan masing-masing. Meskipun demikian, kerap dibutuhkan di luar jadwal shift hariannya.
Mahasiswa yang menyempatkan waktunya untuk menularkan ilmu dengan tujuan meringankan beban tugas dosen. Baiknya pun ada sebuah cost untuk membayar jasanya. Kendatipun para mahasiswa tidak mengharapkan sesuatu yang tinggi, tetapi mereka berhak menerima royalti dalam bentuk materi sebagai apresiasi.
Menurut saya, asprak tidak berbayar menjadi perkara yang menyebalkan. Apalagi jika terjadi munculnya kesenjangan dalam satu lingkungan. Sebab treatment setiap dosen pengampu mata kuliah berbeda-beda. Ada yang mendapat royalti dan ada yang tidak.
Berdasarkan pertimbangan case ini, mahasiswa menghabiskan tenaganya untuk membantu hal yang menunjang pendidikan. Akumulasi dari take and give atas kerja mahasiswa perlu dikalkulasikan agar kedepannya bisa melatih profesionalitas. Oleh karena itu, apabila terdapat payung hukum atau regulasi yang jelas antara mahasiswa dan dosen, dengan mengadaptasi solusi yang ditawarkan kemendikbud yaitu memberi anggaran gaji mahasiswa termasuk ke Asprak secara merata. Hal itu menjadi suatu upaya mensejahterakan mahasiswa.
Penulis: Viradyah Lulut Santosa (Mahasiswa Akuakultur Universitas Airlangga)