Universitas Airlangga Official Website

Hari Kebaya Nasional, Sejarawan UNAIR Ajak Anak Muda Kembali Pakai Kebaya

Perempuan Nusantara memakai kebaya
Perempuan Nusantara memakai kebaya

UNAIR NEWS – Kebaya merupakan salah satu pakaian dari zaman dahulu yang tidak lekang oleh waktu. Pada zaman sekarang, kebaya tidak hanya dipakai untuk hal yang resmi, namun juga sebagai fashion atau identitas diri dari sang pemakai. Memperingati Hari Kebaya Nasional pada 24 Juli, Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) Moordiati SS MHum menceritakan, kebaya telah dikenal jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Pada mulanya, kebaya diperkenalkan oleh bangsawan Eropa atau para priyayi pada abad 19. 

“Sebetulnya, pada zaman klasik, yakni pada Hindu-Budha, juga telah mengenal pakaian. Namun, zaman tersebut pakaian yang dikenakan tidak sepenuhnya menutupi seluruh tubuh. Awal memasuki civilized era masyarakat baru menyadari bahwa perlunya pakaian yang menutup badan secara keseluruhan,” jelasnya. 

Moordiati mengatakan, pada zaman itu keberadaan kebaya ini sangat terbatas hanya kalangan tertentu yang dapat menggunakan kebaya. Masyarakat biasa umumnya hanya memakai kemben untuk kegiatan sehari-harinya. Ia menambahkan, pada zaman itu kebaya dinilai pakaian yang sangat eksklusif. 

Dosen Ilmu Sejarah, Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), Moordiati SS MHum. (Foto: PKIP UNAIR)

“Awal mula masyarakat pribumi mengenal kebaya yakni adanya interaksi dengan para bangsawan. Salah satunya, para buruh atau server yang bekerja untuk mereka (Red. bangsawan). Akhirnya, perlahan-lahan masyarakat mengadopsi kebaya yang digunakan oleh bangsawan saat itu,” tuturnya pada (21/6/2024). 

Pada zaman itu terdapat perbedaan dalam pemakaian kebaya yakni terlihat dari bahan yang digunakan. Para bangsawan atau priyayi cenderung memakai kebaya berbahan eksklusif yakni bludru dan kancing emas. 

Sedangkan, masyarakat biasa memakai kebaya berbahan seadanya atau yang sekarang dikenal dengan lurik. “Perbedaan tersebut menunjukkan representasi dari suatu kelas masyarakat tertentu pada saat itu antara masyarakat kelas menengah bawah dan masyarakat kelas atas,” paparnya. 

Ia menambahkan, namun saat itu penggunaan model yang digunakan hampir sama. Terbukti, pada beberapa sumber sejarah membuktikan para bediende dan masyarakat kelas atas menggunakan model kebaya encim. Model itu merupakan hasil saduran dari budaya Indonesia dengan budaya Tionghoa. 

“Perempuan indo campuran memiliki peran yang besar dalam melanggengkan eksistensi kebaya pada saat itu. Mereka melanggengkan keberadaan kebaya tidak hanya pada estetika namun juga menyamanan karena menyesuaikan iklim pada kawasan Hindia-Belanda,” imbuhnya. 

Pada zaman sekarang, kebaya dapat digunakan oleh semua kalangan bukan lagi sebagai penentu sebuah kelas dari suatu kelompok. Sosok ibu Tien Soeharto atau istri presiden kedua Indonesia menjadi salah satu trendsetter saat itu. 

“Ibu Tien Soeharto memiliki ciri dan kebiasaan yang melekat, yakni memakai riasan yang cantik serta memakai kebaya kutu baru. Kebiasaan tersebut telah dicerminkan oleh ibu negara pada masa Soekarno hingga Soeharto serta menjadi cikal bakal tren kebaya pada perempuan Indonesia bahkan hingga saat ini,” ujar Moordiati.

Moordiati berharap, bahwa pakaian kebaya nasional ini harus lestari dari zaman ke zaman. Terutama untuk anak muda sebagai generasi penerus bangsa. Jangan malu untuk menggunakan kebaya pada setiap kesempatan. “Kalau bukan dari anak muda yang memulai, siapa yang akan melestarikan pakaian kebaya di masa mendatang,” ungkapnya. 

Penulis: Satrio Dwi Naryo

Editor: Feri Fenoria

Baca Juga: Melacak Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, Dekan FIB Luncurkan Buku