Universitas Airlangga Official Website

Hasil Analisis Nutrigenomik Pada Penyintas COVID-19

Hasil Analisis Nutrigenomik Pada Penyintas COVID-19
Ilustrasi Penyintas COVID-19 (sumber: detik.com)

Virus SARS-CoV-2 menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut yang parah dan telah mengakibatkan banyak kematian di seluruh dunia. Beberapa penjelasan untuk fenomena ini telah muncul, beberapa di antaranya terkait dengan kelompok usia tertentu dan adanya penyakit komorbid atau jenis virus tertentu. Akibatnya, beberapa langkah pencegahan telah diterapkan di masyarakat untuk menghindari konsekuensi negatif lebih lanjut. Adapun dalam keilmuan biologi molekuler, telah berkembang dan muncul nutrigenomik, yaitu disiplin baru dalam bidang nutrisi berdasarkan genom manusia. Genotipe tertentu dapat berperan dalam menentukan gejala klinis COVID-19 melalui pengaruhnya terhadap berbagai faktor seperti metabolisme nutrisi, respons kekebalan, dan predisposisi genetik.

Hal ini menjadi dasar bagi tim dari Universitas Airlangga untuk melakukan pengujian nutrigenomik pada penyintas COVID-19 yang menggunakan ventilator selama perawatan mereka dan penyintas COVID-19 ringan yang tidak memerlukan ventilator untuk menentukan risiko variasi genetik melalui pengujian nutrigenomik terkait kejadian COVID-19. DNA diisolasi dari sampel saliva dan genotipe ditentukan untuk penanda genetik menggunakan tes nutrigenomik yang tersedia secara komersial. Peneliti membandingkan frekuensi genotipe antara mereka dengan gejala parah (kasus) dan mereka dengan gejala ringan (kontrol). Pengujian nutrigenomik dalam penelitian ini meliputi metabolisme nutrisi, intoleransi dan sensitivitas makanan, kesehatan kardiometabolik, manajemen berat badan dan komposisi tubuh, kebiasaan makan, fisiologi olahraga, kebugaran, dan risiko cedera.

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Soetomo dengan melibatkan 10 subjek pada masing-masing grup kasus dan kontrol. Kelompok kasus berusia 17-70 tahun, terkonfirmasi dengan COVID-19, selama perawatan dipasang ventilator, pasien dinyatakan selamat setelah ekstubasi dan hasil tes negatif sekali dari pemeriksaan PCR SARS-CoV-2; kelompok kontrol berusia 17-70 tahun, tidak dirawat di rumah sakit, tidak menggunakan ventilator, dan mengalami gejala ringan infeksi saluran pernapasan atas. Temuan dari penelitian ini adalah adanya korelasi signifikan antara risiko defisiensi vitamin E dan gejala COVID-19 yang parah. Hal ini mungkin terkait dengan peran vitamin E sebagai imunomodulator dalam kekebalan bawaan dan adaptif. Selain itu adanya modulasi signifikan efek nutrisi oleh usia. Usia secara signifikan mempengaruhi respons genetik terhadap lemak jenuh dan tak jenuh; semakin tua seseorang, semakin tinggi kemungkinan masuk ke dalam kategori risiko “Tipikal.” Hal ini terkait dengan hipotesis bahwa seiring bertambahnya usia, terjadi penurunan fungsi metabolik, termasuk metabolisme lipid, dan adanya komorbiditas, sehingga meningkatkan keparahan COVID-19.

Penulis: Dr. Anna Surgean Veterini, dr., Sp.An.KIC.

Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat pada: Preliminary study: nutrigenomics analysis results of COVID-19 survivors (springer.com)

Baca juga: Dugaan Hipovitaminosis pada Pasien dengan Kasus Sepsis dan Syok Septik yang Menjalani Operasi Abdomen