n

Universitas Airlangga Official Website

HRLS Adakan Diskusi Terkait Efektifitas Perpres No. 13 Tahun 2018

HRLS
Dadang Trisasongko selaku Sekretaris Jenderal Transparancy International Indonesia saat memeberikan paparan. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Pada awal Maret 2018, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Pada intinya, Perpres itu mewajibkan setiap korporasi untuk mengidentifikasi dan membuka pemilik manfaat sebenarnya atau Beneficial Owner (BO).

Menyikapi hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan HAM  (HRLS) Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, mengadakan diskusi dengan publik dengan topik “Membuka Beneficial Ownership”. Diskusi yang diadakan di Ruang Gondowardojo itu berlangsung pada Kamis (22/3).

Dalam diskusi yang dipimpin oleh Dian Purnama Anugrah selaku sekretaris Prodi Magister Kenotariatan FH UNAIR itu, menghadirkan dua pemantik. Ialah Dadang Trisasongko selaku Sekretaris Jenderal Transparancy International Indonesia dan Iman Prihandono Ph.D., selaku Pakar Bisnis dan HAM. Selain  dua pemantik itu, dihadiri pula oleh beberapa dosen, mahasiswa, dan para notaris yang juga antusias selama pembahasan berlangsung.

Sebagai pemberi paparan pertama langsung disampaikan oleh Dadang Trisasongko. Dalam paparannya, ia menjabarkan mengenai transparansi beneficial ownership dan komitmen anti korupsi global. Dadang juga mengakatan bahwa bentuk korupsi yang besar itu dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan tinggi. Misalnya saja pengadaan barang dan Jasa serta mengenai izin usaha baik dalam bidang kehutanan, pertambangan, maupun migas.

“Dibalik itu, aktornya adalah politisi, birokrat level tinggi, dan pebisnis. Sistem peraturan kita ini cenderung imunitif dan tidak dapat menjangkau orang-orang tersebut. Selain itu juga. Contoh lain dari korupsi besar adalah e-KTP. Korupsi e-KTP ini bahkan dimulai dari penganggaran dan perencanaan,” ujarnya.

Selanjutnya, sebegai pemberi paparan kedua, Iman mengatakan bahwa Perpes itu merupakan terobosan baru yang dapat menjadi jalan bagi korporasi dan pelaku bisnis lain untuk mematuhi. Tanggung jawab korporasi yang terbatas terkadang menimbulkan persoalan.

“Tantangannya adalah apakah Perpres ini dapat menjangkau orang atau Badan Hukum di luar Indonesia sehingga Indonesia dapat menjeratnya? Mengingat Perpres ini bersifat voluntary sehingga harus diidentifikasi dan diverifikasi sendiri,” ujar Iman.

Pada akhir, pemandu diskusi menyimpulkan bahwa dari diskusi itu dirumuskan mengenai Perpres No.13 Tahun 2018 yang belum memadai untuk kepentingan publik, sehingga sebagai masyarakat harus dapat mengkaji lebih dalam peraturan itu.

Penulis: Pradita Desyanti

Editor: Nuri Hermawan