Limfadenitis Tuberculosis (LnTB) adalah ekstra pulmonary tuberculosis (EPTB) yang paling sering terjadi. WHO menetapkan pemeriksan dini TB adalah salah satu strategi untuk menuju ke end TB 2030. Respon terapi dari penderita LnTB adalah mengecilnya benjolan atau benjolan pecah dan menjadi scrofuloderma atau benjolan semakin besar, salah satunya dipengaruhi oleh gen Natural Resistance–Associated Macrophage Protein 1 (NRAMP-1). Gen NRAMP-1 berada dalam macrofag yang berfungsi untuk mengeluarkan besi yang dibutuhkan oleh bakteri intraseluler termasuk micobacterium tuberculosis (MTB) untuk dapat hidup. Gen NRAMP-1 menunjukkan ketahanan atau kerentanan imunitas seseorang pada infeksi MTB. Bila didapatkan kadar protein gen NRAMP-1 yang tinggi, maka tubuh seseorang tidak mudah terinfeksi MTB, dan bila kadarnya rendah maka MTB akan lebih mudah berkembang. Studi ini bertujuan untuk menilai hubungan NRAMP-1 dengan kadar Hb dan BMI pada penderita LnTB.
Studi ini adalah suatu penelitian cross sectional, dengan data yang diambil dari puskesmas yang tersebar di 5 kabupaten/kota di pulau Lombok. Semua pasien LnTB yang terdiagnosis secara sitologi atau histopatologi, yang belum pernah mendapat OAT atau mendapatkan OAT kurang dari satu bulan, dengan foto rontgen paru negatif TB. Pasien harus mempunyai data rekam medik lengkap, dan tempat tinggal yang terjangkau dari puskesmas dimasukkan kedalam penelitian. Sedangkan pasien LnTB yang sedang hamil, dengan gagal ginjal, gangguan hati berat, gizi buruk, dengan penyakit autoimun, diabetes mellitus, dengan HIV, atau yang sedang menjalani terapi immunosupresi, dikeluarkan dari penelitian. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari komite etik di fakultas kedokteran universitas Hasanuddin dengan nomor 672/UN4.6.4.5.31/PP36/2020.
Identitas pasien dikumpulkan menggunakan wawancara terstruktur, usia dicatat dalam tahun. Data atropometri yang dinilai antara lain tinggi badan (cm), berat badan (Kg), dan Body Mass Index (BMI) (Kg/m2). Ukuran nodul dan gambaran histopatologi dicatat dan dikelompokkan menjadi well organized granuloma (WOG) dan poor organized granuloma (POG). Pengambilan kadar serum NRAMP-1 dan Hb, yang dilakukan sebelum dimulainya terapi OAT, dengan menggunakan metode ELISA dengan serum NRAMP-1 (AbClonal®) kit. Kadar NRAMP-1 serum ditentukan dari fluoresensi antibodi spesifik untuk NRAMP-1 (pg/ml).
Penelitian ini melibatkan 78 responden, sebanyak 27 orang diantaranya laki-laki dan 51 orang perempuan. Rata-rata usia yang menjadi responden pada penelitian ini adalah 26,89. Rerata ukuran nodul adalah 3 cm. Sebagian besar responden pada penelitian ini adalah perempuan (65.4%). Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara polimorfisme SLC11A1 (form NRAMP-1) dengan tingginya kejadian TB pada perempuan. Wanita cenderung mengalami kehilangan lebih banyak zat besi dalam tubuh, sebagai akibat terbatasnya zat tersebut dalam fagosom yang sangat dibutuhkan dalam generasi radikal aktivitas bakterisida dan hidroksil. Selain itu, kepatuhan terhadap pengobatan juga dapat mempengaruhi.
Karakteristik histopatologi menunjukkan WOG (56.4%) lebih banyak ditemukan daripada POG (43,6%), disebabkan karena faktor lingkungan yang berpengaruh dalam migrasi leukosit. Bakteri dengan karakteristik RD-1 dapat menstimulus kemotaksis yang lebih efisien serta mendatangkan makrofag yang memiliki system gerak lebih cepat dan lebih banyak sehingga terbentuk granuloma yang sempurna atau WOG.
Rata-ratanya ukuran nodul pasien adalah 3.0064 cm, sejalan dengan penelitian J-N heo et al. (2005) menunjukkan bahwa rata-rata ukuran nodul pada penderita TB adalah 3 cm. Adapun nodul tersebut menyebar secara bronkogenik.
Analisis hubungan antara NRAMP-1 dengan kadar Hb menunjukkan hubungan yang signifikan (p <0,05). Polimorfisme NRAMP-1 dapat mengakibatkan peningkatan kadar zat besi didalam makrofag dan meningkatkan resiko TB. Penelitian A. V. Finn et al. (2012) menyebutkan bahwa Hb merupakan stimulus dalam proses diferensiasi makrofag. Pengurangan zat besi intraseluler akan dapat meningkatkan machrofag, yang mengakibatkan peningkatan produksi hemoglobin. Namun demikian, terdapat faktor lain yang dapat meningkatkan Hemoglobin pada penderita TB diantaranya adalah normalisasi respon tubuh terhadap inflamasi, intake nutrisi yang lebih baik, nafsu makan yang meningkat yang dibuktikan dengan nilai BMI yang lebih baik setelah menjalankan terapi TB. Jika kadar Hb tidak mencapai kadar normal, maka justru akan menjadi pemicu peningkatan CRP, ESR serta asam urat dan memperberat inflamasi sistemik.
Analisis hubungan antara NRAMP-1 dengan BMI (p>0,05) menunjukkan tidak terdapat hubungan antara kadar NRAMP-1 dengan BMI. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan x.li et al, 2011 menyebutan bahwa terdapat korelasi yang positif antara BMI dan makrofag sebagai hasil aktivasi oleh NRAMP-1. Adanya penurunan pada proses infiltrasi makrofag serta reduksi ekspresi pada gen inflamasi yang terdapat pada jaringan adipose yang berdampak penurunan BB dan BMI. Khususnya pada penderita TB, BMI rendah yang menindikasikan ketidakseimbangan nutrisi dapat menyebabkan terganggunya sistem kekebalan tubuh. Sebaliknya, prevalensi TB menurun seiring dengan BMI yang normal.
Berdasarkan uraian diatas terdapat hubungan antara NRAMP-1 dengan Hb sedangkan untuk hubungan NRAMP-1 dengan BMI dan gambaran histopatologi granuloma WOG dan POG tidak didapatkan hubungan yang signifikan. NRAMP-1 berpengaruh pada perkembangan lesi/granuloma.
Penulis: Fathul Djannah, Anny Setijo Rahaju, Muhammad Nasrum Massi, Mochammad Hatta, Agussalim Bukhari, Irda handayani
Judul artikel: The Relationship Between Natural Resistance –Associated Macrophage Protein 1 (NRAMP-1) Levels and Hb and Body Mass Index (BMI) in Tuberculosis Lymphadenitis Patients
Link Artikel: https://www.rjptonline.org/AbstractView.aspx?PID=2024-17-9-44
DOI: 10.52711/0974-360X.2024.00683
Baca juga: Hubungan Masalah Terapi Obat dengan Hasil Terapi pada Pasien Tuberkulosis (TBC)