Tuberkulosis (TB) yang disebabkan oleh strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap obat anti-TB saat ini menjadi masalah utama kesehatan global seiring dengan kasusnya yang meningkat. World Health Organization (WHO) melaporkan 465.000 kasus TB resisten obat (TB-RO) pada tahun 2020 dengan angka keberhasilan pengobatan sebesar 57%. Indonesia saat ini berada pada ranking ke-5 untuk Negara dengan kasus TB-RO tertinggi dengan angka keberhasilan pengobatan kurang dari 50% akibat tingginya angka kematian dan putus berobat.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2016 merekomendasikan paduan jangka pendek 9-12 bulan untuk mengobati TB Multidrug-Resistant/Rifampicin-Resistant (TB-MDR/RR). Indonesia mulai mengimplementasikan paduan jangka pendek tersebut pada tahun 2017. Namun, tidak semua pasien yang diobati dengan paduan jangka pendek dapat menyelesaikan pengobatan hingga akhir pengobatan. Hal ini terjadi karena adanya efek samping pemanjangan interval QTc, yang merupakan efek samping serius dan berpotensi menyebabkan Torsade de Pointes (TdP) dan kematian mendadak. Moxifloxacin merupakan salah satu komponen obat dalam paduan jangka pendek yang sering dikritisi karena dianggak meningkatkan risiko pemanjangan interval QTc dan TdP. Moxifloxacin yang diberikan sesuai program Nasional adalah 400 mg, 600 mg, atau 800 mg berdasarkan berat badan pasien.
Aktivasi inflamasi karena inflamasi sistemik diindikasikan sebagai penyebab terjadinya sindrom pemanjangan QT melalui cytokine-mediated changes pada kardiomiosit saluran ion. Penurunan ekspresi atau fungsi beberapa saluran ion pada jantung dipengaruhi oleh sitokin inflamasi secara sistemik maupun lokal (terutama TNF-α, IL-1, dan IL-6), menyebabkan penurunan aliran K+ dan atau peningkatan ICaL. Inflamasi jantung atau sistemik menyebabkan pemanjangan interval Qtc melalui cytokine-mediated effects, dan hal ini mungkin meningkatkan risiko kematian jantung mendadak. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu protein fase akut yang meningkat selama inflamasi sistemik. CRP juga sering digunakan sebagai penanda prognostik pada TB. peningkatan kadar CRP merupakan prediktor kuat penyakit jantung dan kardiovaskular pada individual asimptomatik.
Pemanjangan interval QTc biasanya asimptomatik atau tanpa gejala dan membutuhkan pemantauan elektrokardiografi (EKG) secara rutin selama pengobatan dengan obat yang bersifat meningkatkan risiko pemanjangan QT, sehingga sangat penting untuk memeriksa pasien TB-RO sebelum mendapat pengobatan. Meskipun beberapa studi telah melaporkan pemanjangan QT pada pasien TB, namun hubungan penanda inflamasi dengan interval QTc masih jarang dipelajari. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi hubungan konsentrasi moxifloxacin , CRP, dan sitokin inflamasi dengan interval QTc pada pasien TB-RO yang mendapat pengobatan dengan paduan jangka pendek. Penelitian ini dilakukan pada 2 kelompok pasien TB-RR (pasien yang sedang diobati pada fase intensif dan pasien yang sedang diobati pada fase lanjutan) dengan paduan jangka pendek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi moxifloxacin, CRP, dan sitokin inflamasi tidak berhubungan dengan interval QTc pada pasien TB-RR yang mendapat pengobatan dengan paduan jangka pendek.
Penulis: Prof. Dr. Ni Made Mertaniasih, dr., MS., SpMK(K)
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di www.actamedindones.org/index.php/ijim/article/view/1913/0
Tutik Kusmiati, Ni Made Mertaniasih, Johanes Nugroho Eko Putranto, Budi Suprapti, Nadya Luthfah, Soedarsono, Winariani Koesoemoprodjo, Aryani Prawita Sari. Correlation of Moxifloxacin Concentration, C-Reactive Protein, and Inflammatory Cytokines on QTc Interval in Rifampicin-Resistant Tuberculosis Patients Treated with Shorter Regimens. Acta Medica Indonesiana. 2022; 54(1): 19-27.