Universitas Airlangga Official Website

Hukum dan Kompleksitas Perkembangan Teknologi Augmented Reality

Foto oleh Phys.org

Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi baru telah memberikan pengalaman yang baru juga bagi masyarakat. Salah satu perkembangan teknologi tersebut adalah kehadiran smartphone. Beberapa waktu yang lalu. Fenomena kemunculan game online seperti Pokemon Go menjadi hal viral di masyarakat. Dengan memanfaatkan kamera smartphone, pengembang game online PokémonGo menawarkan interaksi antara dunia virtual dan dunia fisik melalui teknologi Augmented Reality (AR).

Teknologi AR secara sederhana menggambarkan gabungan tampilan dunia nayata dengan ditambahkan elemen-elemen virtual berupa teks, data, simbil, gambar, gradfik dan elemen-elemen visual lainnya. Dalam kesehariannya. teknologi AR selalu diasosiasikan dengan game online. Padahal, realitasnya banyak sekali pemanfaatan dari teknologi ini diluar game online. Sebagai contoh adalah pemanfaatan teknologi AR di bidang medis, pemasaran dan ritel, pendidikan, kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan bahkan untuk kegiatan-kegiatan di bidang pencegahan dan pengungkapan kejahatan.

Dalam dunia medis, teknologi ini telah digunakan sebagai alat bantu untuk berlatih dalam tindakan bedah. Dalam bidang pendidikan, AR dikatakan sebagai ‘the game changer’ karena mampu mengkombinasikan tampilan visual sebagai alat bantu dalam mencapai tujuan pembelajaran. Di bidang konstruksi, teknologi ini disebutkan mampu membantu dalam hal penjaminan mutu konstruksi walaupun hasil riset sebelumnya menyatakan bahwa masih terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam konteks penggunaan aplikasinya. Yang menarik adalah pemanfaatan AR oleh the International Red Cross Committee (ICRC) untuk mempromosikan “awareness” tentang efek buruk perang dalam sebuah aplikasi bernama “Enter the Room”.

Dalam konteks pencegahan dan pengungkapan kejahatan, AR juga menjadi salah satu alat bantu yang memudahkan aparat penegak hukum. Menurut laporan FBI, AR mempunyai perang penting dalam membantu melakukan ‘mapping’ Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan mengkreasikannya dalam peta virtual sehingga dapat digunakan sebagai barang bukti dalam sebuah persidangan (Carlton, 2017).

Dengan pemanfaatannya dalam berbagai bidang, teknologi AR, bagaimanapun juga menghadapi tantangan yang cukup fundamental. Bahwa lingkungan yang seakan-akan nyata yang diciptakan teknologi tersebut ternyata dianggap jauh lebih sulit dikendalikan daripada lingkungan atau kondisi asli di lapangan. Lebih jauh lagi, dikatakan juga bahwa teknologi AR dapat menghadapi masalah sosial dan hukum. Apa saja permasalahan dan tantangan yang akan dihadapai teknologi AR ini dalam kacamata hukum?

AR sebagai Produk Hak Kekayaan Intelektual

Dalam konteks Kekayaan Intelektual (KI), sistem dan layanan dari teknologi AR merupakan perwujudan dari rezim KI misalnya Paten (Patents), Hak Cipta (Copyrights) dan Merek Dagang (Trademark). Dalam hal Paten, teknologi AR dapat dilindungi oleh Paten terkait dengan sistem, fungsi, fitur dan pemrosesannya. Lebih lanjut, arsitektur dan fungsi sistem yang dihasilkannya secara real-time, bagaimana data ditangkap, dikelola, dianalisis, ditampilkan atau dimanipulasi dengan cara tertentu atau kombinasi dari kesemuanya hingga bagaimana algoritmanya bekerja dapat menjadi subjek yang dilindungi oleh Paten dengan catatan selama elemen-elemen pengujian untuk perolehan Paten dapat terpenuhi.

Pada 2011, telah tercatat kasus pertama terkait dengan AR dan Paten yaitu antara Tomita Technologies USA, LLC v.  Nintendo Co. Kasus tersebut mempermasalahkan fitur tombol kontrol geser game berbasis AR pada konsol genggam Nintendo 3DS yang mempunyai kemampuan menangkap gambar 3D. Berdasarkan kasus Tomita v. Nintendo tersebut memperlihatkan ‘pertarungan’ penerapan teknologi AR dalam industri game. Setelah itu, muncul kasus-kasus baru terkait Paten AR lainnya seperti 1 -800-Contacts v. Ditto Technologies pada tahun 2012 dan Kasus Teknologi Gambar Lennon pada tahun 2013.

Rezim KI yang lain, yaitu Hak Cipta juga dapat memberikan pelindungan terkait dengan keberadaan teknologi AR. Bagaimana AR dapat menjadi subjek perlindungan Hak Cipta adalah bahwa pada dasarnya teknologi ini dibangun dengan bahasa pemrograman komputer. Selain itu, sebagian besar teknologi AR diekspresikan dengan cara adanya fiksasi ke media 3D. Dalam konteks menentukan siapa yang harus diberikan perlindungan dalam konteks AR memiliki derajat kesulitan yang cukup kompleks. Apakah programmer, platform atau konten yang dihasilkan oleh penguna? Dengan catatan juga bahwa teknologi AR ini dapat digunakan untuk mereproduksi karya yang ada secara real-time yang dapat diindikasikan sebagai bentuk pelanggaran Hak Cipta. Seperti halnya kasus yang terjadi antara Firesabre Consulting LLC v. Cindy Sheehy.

Sementara itu terkait dengan Merek Dagang (Trademark), AR dapat menujukkan sebuah gambar 3D. Konten digital yang dipublikasikan dapat dianggap sebagai penggambaran ‘sponsorship’ seperti yang pernah terjadi di akun Keiichi Matsuda di platform berbagi video, YouTube. Dalam videonya, pengguna AR dapat melihat tampilan dapur digital dengan berbagai Merek Dagang ternama. Dengan mekanisme Youtube AdSense, Matsuda dapat memperoleh keuntungan secara tidak langsung juga atas tampilan Merek Dagang yang dapat di lihat dengan menggunakan alat tertentu pada videonya.

Bagaimana dalam konteks Indonesia? Berbagai rezim KI seperti disebutkan diatas sejatinya sudah memberikan perlindungan dengan berbagai kriteria. Namun, dengan perkembangan yang ada, para ahli hukum paling tidak juga dituntut untuk mengikuti perkembangan akan seluk beluk teknologi AR misalnya bagiamana cara kerja atau teknologi AR diterapkan dalam berbagai layanan sehingga kedepannya ketika terjadi pelanggaran atau sengketa dapat menerapkan prinsip-prinsip dasar perlindungan KI sesuai dengan peraturan yang ada.

Tantangan dalam Bidang Hukum di Masa Mendatang

Kembali pada rentetan kasus-kasus hukum yang muncul pasca viralnya game online Pokeman Go contohnya adalah, banyaknya kecelakaan yang dialami oleh user karena mengejar titik tangkapan ‘monster’ yang berada di tempat-tempat berbahaya, menimbulkan pertanyaan, siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atau pertanggunggugatan? Kasus yang lain, titik tangkap yang di tentukan oleh game tersebut ternyata berada di pekarangan rumah orang lain atau bahkan di tempat atau fasilitas vital yang terlarang untuk dimasuki? Bagaimana pula pengaturannya? Siapa yang ‘harus dipersalahkan’ ketika dianggap melanggar privasi orang lain, memasuki pekarangan orang lain dan melanggar fasilitas atau tempat dilarang karena merupakan fasilitas vital negara?  Atau dalam bidang medis dan pendidikan, ternyata olahan data ataupun gambar visual ternyata tidak tepat dalam membantu usernya? Hingga misalkan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan?

Bahwa memang benar, secara normatif telah ada aturan-aturan yang mengatur perilaku apa saja yang tidak boleh dilakukan, namun dengan andilnya teknologi AR, bagaimana merumuskan kembali siapa saja yang akan dikenai petanggungjawaban atau pertanggunggugatan?

Sebagai penutup, selain tantangan dalam bidang Kekayaan Intelektual, teknologi AR juga membawa pesan bahwa masih ada banyak hal yang terkait dengan AR yang bersinggungan dengan bidang hukum lainnya. Sebagai contoh terkait dengan perkembangan hukum khususnya tentang isu pengaturan tentang hak atas ruang virtual, online trepassing, pelanggaran terhadap data, masalah kesengajaan dan kelalaian yang dapat menyebabkan terganggunya keamanan dan keselamatan hingga hak atas privasi. Seperti halnya yang telah tergambarkan pada kasus-kasus diatas, potensi permasalahan hukum juga akan muncul seriring dengan perkembangan dari teknologi AR itu sendiri. Ruang untuk dilakukan kajian dan penelitian lanjut terkait dengan keberadaan AR dan persinggungannya dengan hukum masih sangat terbuka lebar.

Penulis: Masitoh Indriani & Liah Anggraeni Basuki

Informasi detail tentang riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: Indriani, M., & Liah Basuki Anggraeni. (2022). What Augmented Reality Would Face Today? The Legal Challenges to the Protection of Intellectual Property in Virtual Space. Media Iuris, 5(2), 305–330. https://doi.org/10.20473/mi.v5i2.29339