Universitas Airlangga Official Website

Hukum Lemah, Kekerasan Seksual Masih Menghantui Hewan

Anjing Dalam Kondisi Lemas dan Sedih (Sumber: Faunafella)

UNAIR NEWS – Tindakan kekerasan seksual kepada hewan masih menjadi kasus yang berulang terjadi. Bahkan belum terlihat addanya upaya yang konkrit dalam menanganinya. 

Mulai kasus pemerkosaan biawak di India, eksploitasi seksual pada orang utan, serta pencabulan kucing. Sebuah pertanyaan besar mengenai efek jera hukum dalam undang-undang di Indonesia.

Pakar Animal Welfare Kedokteran Hewan Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam (SIKIA) Prima Ayu Wibawati drh M Si menegaskan, semua tindakan kekerasan seksual pada hewan yang menjadi objek, bukanlah kesalahan hewan. “Hewan tidak memiliki akal pikiran, hewan hanya memiliki nafsu bereproduksi dan memuaskan perut. Seharusnya manusia yang bertugas menyejahterakan hewan,” tuturnya.

Dampak Fisik, Psikologi, dan Perilaku Seksual 

Prima menjelaskan bahwa kekerasan seksual berdampak besar pada fisik, psikologis, dan perilaku hewan yang menjadi korban. “Penganiayaan seksual jelas secara fisik pasti akan membuat organ reproduksi bermasalah. Selain itu, hewan akan memiliki rasa trauma dan stress secara terus menerus,” katanya.

“Dalam beberapa kasus, kemauan seksual hewan berkurang sampai traumanya hilang akibat terhambatnya hormon rangsangan,” imbuhnya.

Karena itu, kekerasan seksual pada hewan adalah bentuk pelanggaran terhadap seluruh prinsip animal welfare yang berdampak pada psikologis berujung traumatik mendalam. “Hewan tersebut mengalami kesakitan, tidak bisa melakukan berbagai kegiatan alaminya, 5 prinsip animal welfare terlanggar, efek traumatis membuat hewan sulit terkontrol dan dapat mencederai manusia akibat rasa takutnya,” jelasnya.

 

Prima Ayu Wibawati drh M Si saat mengampu kuliah di Laboratorium Instrumentasi SIKIA (Sumber: Pribadi)
Pemulihan 

Dokter prima menuturkan bahwa upaya pemulihan dapat dilakukan dengan merawat hewan korban kekerasan seksual pada tempat rehabilitasi hewan yang dikelola organisasi nasional maupun internasional, sebagai penanganan hewan sementara. 

“Ada kasus hewan yang trauma terhadap perilaku manusia, maka pola hidupnya berbeda, dan jika dibebaskan tidak bisa bertahan hidup,” tuturnya.

“Rehabilitasi tidak harus mengembalikan (hewan) pada alam liar. Bergantung kondisinya memungkinkan atau tidak,” imbuhnya.

Yang perlu diperhatikan bahwa penanganan hewan kekerasan seksual harus menghindari kontak langsung untuk mengurangi efek trauma pada manusia. “Manusia atau keeper yang langsung berhubungan dengan hewan yang terluka harus membatasi diri dengan tidak kontak langsung. Misalnya, dengan menyembunyikan bahu,” ungkapnya.

Hal tersebut juga berfungsi rasa trauma hewan berkurang dan ke depannya tidak terlalu bergantung pada perlakuan keeper

Efek Jera 

Dosen SIKIA tersebut menyebutkan, perilaku menyimpang itu terjadi karena akibat dua sudut pandang yaitu hukum dan psikologi. “Manusia yang berani berbuat (kejahatan seksual) pada hewan perlu dicek terlebih dahulu kejiwaannya pada psikiater, sedangkan hukum sepatutnya diperkuat dengan mementingkan prinsip animal welfare,” tegasnya.

Sehingga Hukum menjadi aspek yang paling berwenang dalam mencegah terjadinya kekerasan pada hewan. “Yang berwenang adalah hukum. Tapi, efek hukum (sekarang) untuk tindakan kekerasan pada hewan belum menjurus ke situ. Kedepan, Perdagangan ilegal, kekerasan seksual perlu diatur undang-undang untuk mempertimbangkan putusan,” jawabnya. 

Prima mengungkapkan bahwa Lemahnya efek hukum dan penegakannya sekarang ini membuat banyak orang perlu mendesak aparat untuk bergerak. “Relawan dan organisasi peduli hewan harus berani mengutarakan suara jika menemukan kasus kekerasan pada hewan, agar kasus dapat ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Sedangkan Counter pendidikan harus dilakukan melalui penyuluhan penyalahgunaan hewan pada masyarakat secara luas,” tutupnya. 

Penulis:azhar burhanuddin

Editor:Feri Fenoria