Jumlah penyakit tidak menular di abad ke-21 masih terus meningkat, salah satunya ialah diabetes melitus. Berdasarkan etiologinya, diabetes digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu diabetes tipe 1 melitus (T1DM) dan diabetes melitus tipe 2 (T2DM). Diabetes mellitus didefinisikan sebagai penyakit metabolik kronis dengan kelainan yang ditandai dengan hiperglikemia persisten yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin (tipe II diabetes melitus/T2DM), resistensi insulin (diabetes melitus tipe I/T1DM), atau keduanya.
Tipe II diabetes melitus (DMT2) terutama disebabkan oleh kegagalan sekresi insulin secara progresif yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan glukosa darah. Kegagalan β pankreas dalam memproduksi insulin dapat menyebabkan tingginya kadar glukosa darah. International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan sebanyak 415 juta orang terkena diabetes melitus. Pada tahun 2017, Indonesia melaporkan 10,3 juta orang terkena diabetes dan menempati peringkat keenam negara dengan kasus diabetes tertinggi di dunia.
Diabetes melitus merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, lingkungan, dan perilaku. Penderita DMT2 lebih rentan mengalami komplikasi berat dan dapat berujung pada kematian mendadak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan faktor risiko T2DM, termasuk usia, obesitas, dan gaya hidup yang tidak sehat. Diabetes melitus tidak hanya dilaporkan pada kelompok usia lanjut, namun juga pada kelompok usia muda khususnya disebabkan oleh obesitas sebagai faktor risiko.
Pencegahan dini terhadap penyakit diabetes melitus penting dilakukan agar dapat meminimalisir peningkatan biaya pelayanan kesehatan maupun beban penyakit. Skrining diabetes berfungsi untuk memfasilitasi deteksi dini dan pengobatan untuk pasien diabetes tanpa gejala. Dua puluh lima persen pasien T2DM memiliki komplikasi mikrovaskuler setelah mengalami penyakit tersebut selama lima tahun. Dalam hal ini, skrining dini pada pasien dengan hiperglikemia bisa menjadi penting karena mengidentifikasi individu berisiko tinggi, sehingga komplikasi dapat terjadi dan dapat dicegah.
Variasi metode skrining diabetes telah teridentifikasi. Namun, penggunaan uji toleransi glukosa oral (OGTT) masih merupakan standar emas, namun metode ini mahal dan tidak nyaman. Penggunaan pemeriksaan gula darah acak (GDA) telah sering digunakan dalam praktik klinis, karena waktu dan hasil yang tersedia lebih cepat. Beberapa studi meta analisis mengungkapkan bahwa skrining dini khususnya pada pradiabetes orang memiliki kemanjuran yang kuat untuk mencegah timbulnya T2DM(9). Orang dengan glukosa normal disarankan untuk hadir pada skrining minimal satu kali dalam setiap tiga tahun. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa pemeriksaan glukosa darah secara acak dan juga mengidentifikasi gaya hidup subjek untuk mengetahui lifestyle yang dapat memicu peningkatan kadar glukosa mereka.
Tekanan darah diukur dua kali dalam rentang pengukuran sekitar 5 menit, peserta duduk dan pengukuran dilakukan oleh perawat berkualifikasi menggunakan sphygmomanometer otomatis. Setelah itu, rata-rata nilainya dicatat. Subyek dikategorikan hipertensi jika rata-rata nilai tekanan darah menunjukkan ≥140/90 mmHg. Peserta tercatat mempunyai aktivitas merokok, jika menghabiskannya atau lebih menyajikan rokok setiap hari. Asupan sayur dan buah peserta dikatakan “Memadai” jika menghabiskan sayur/buah sebanyak lima kali dalam seminggu. Peserta tercatat memiliki fisik yang memadai aktivitas jika mereka berolahraga minimal 150 menit per minggu atau 30 menit setiap hari. Setelah itu, datanya dianalisis menggunakan uji chi-square.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, gaya hidup sehat termasuk konsumsi sayur dan buah pada partisipan tergolong cukup, aktivitas fisik yang cukup juga bervariasi, namun tidak ada variabel yang berhubungan secara signifikan antara GDA yang tinggi dan tingkat aktivitas fisik. Pemeriksaan glukosa darah secara acak menunjukkan bahwa 11% peserta memiliki kadar glukosa darah yang tergolong tinggi (≥ 200 mg/dL), sedangkan peserta yang memiliki tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg) sebanyak 10%. Meskipun mempelajari gaya hidup masyarakat berisiko rendah bukanlah prioritas intervensi yang mendesak, namun hal ini bermanfaat bagi kesehatan, dan pencegahan peningkatan beban pelayanan kesehatan pada 10-20 tahun mendatang.
Porsi buah dan sayur yang dianjurkan seperti yang direkomendasikan WHO adalah lebih dari 400 g per hari, sehingga risiko penyakit T2D dapat diturunkan. Asupan sayuran berdaun hijau secara signifikan mengurangi perkembangan T2DM. Konsumsi buah dan sayur mayur juga harus dibarengi dengan pola hidup sehat lainnya seperti aktivitas fisik, hindari rokok, dan mencegah berkembangnya tekanan darah tinggi. Pembiasaan mengkonsumsi buah dan sayur sebaiknya dikampanyekan di masyarakat, melalui berbagai media seperti poster, leaflet, dan televisi.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa 63% peserta yang memiliki GDA tinggi tidak memiliki aktivitas fisik yang memadai. Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan bagi individu karena penelitian sebelumnya menunjukkan adanya aktivitas fisik yang bermanfaat dan efektif untuk mencegah berkembangnya T2DM jika dilakukan secara teratur dan konsisten, serta durasi minimum sekitar 150 menit/minggu. Aktivitas fisik tidak hanya dapat mencegah seseorang terkena DMT2, namun juga dapat mengendalikan tekanan darahnya. Jika tekanan darah dipertahankan dalam nilai normal, maka penyakit kardiovaskular dan kematian dini akan dapat dicegah. Berdasarkan jumlah tersebut, persentase risiko terkena T2DM yang tinggi dapat dikurangi dengan aktivitas fisik sebanyak 58%.
Penulis: Dr. Hariyono, S.Kep., Ns., M.Kep.