Universitas Airlangga Official Website

Identitas dan Politik Identitas di Indonesia

Ilustrasi oleh news.hofstra.edu

Identitas merupakan topik yang sangat luas digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora sejak paruh kedua abad ke-20 sampai sekarang ini. Pada periode 1950-1970, perhatian dari banyak ilmuwan sosial tentang identitas dilatarbelakangi oleh menjamurnya gerakan-gerakan sosial berbasis identitas di Amerika Serikat seperti gerakan hak-hak sipil (1950-an), gerakan perlawanan kebudayaan tradisional (1960-an), dan gerakan perempuan (1970-an) (Vryan, 2007).

Selanjutnya, perhatian dari banyak ilmuwan sosial dan humaniora terhadap identitas dilatarbelakangi oleh dunia yang telah semakin berubah akibat proses globalisasi. Globalisasi yang menyebabkan pengecilan batasan antara ruang dan waktu, global dan lokal, pusat dan periferi adalah suatu fenomena yang telah mendalamkan keyakinan terhadap identitas sebagai entitas yang cair. Identitas semakin dilihat sebagai sesuatu yang bertumbuh, selalu dalam perubahan terus-menerus, berjalan seumur hidup, sebagai sebuah proses daripada sebagai sebuah produk, dan bersesuaian dengan konteks sosial, budaya, dan sejarah (Coupland, 2007).

Richard Jenkins (2008:5) menjelaskan bahwa identitas adalah kapasitas manusia untuk mengetahui siapa dirinya. Ini melibatkan ihwal mengetahui siapa kita, mengetahui siapa orang lain, orang lain mengetahui siapa kita, kita mengetahui bagaimana orang lain berpikir tentang kita, dan sebagainya—sebuah klasifikasi multi-dimensional atau pemetaan dunia manusia dan tempat kita di dalamnya, sebagai individu dan anggota kolektivitas. Dari penjelasan tersebut, dapat diringkas bahwa dalam identitas selalu terdapat komponen yang menceritakan diri sendiri dan sekaligus orang lain (bdk. Sparringa, 2021). Lalu, beberapa elemen yang dapat disebut menjadi bagian dari identitas adalah ras, etnisitas, jenis kelamin, gender, kebangsaan, agama, pekerjaan, usia, kelas sosial dan gaya hidup, bahasa, ideologi, tradisi, sejarah, kepercayaan, dan regionalitas.

Politik identitas di Indonesia

Politik identitas secara umum didefinisikan sebagai praktik mobilisasi politik atas dasar identitas kelompok, seperti etnis, agama, ras, dan denominasi sosial-kultural lainnya. Walaupun identitas memiliki elemen beragam sebagaimana telah saya sebut di atas, tetapi dalam sekitar lima tahun terakhir di Indonesia, setidaknya sejak peristiwa Pilkada DKI 2017 berikut residunya dalam pilpres 2019, wacana politik identitas yang dominan adalah politik identitas berbasis agama. Pesan pokok yang terkandung dalam wacana politik identitas berbasis agama seputar Pilkada DKI adalah kecemasan atas dampak mobilisasi identitas agama dalam kontestasi politik terhadap disintegrasi bangsa.

Namun, sesungguhnya politik identitas di Indonesia juga terjadi dalam bentuk yang lain yang juga memiliki dampak serius terhadap disintegrasi bangsa. Politik identitas berbentuk lain ini di Indonesia masih luput dari perhatian banyak orang meskipun sebenarnya sudah terjadi cukup lama. Politik identitas berbentuk lain itu adalah teritorialisasi identitas, yaitu, sebuah konsep yang merujuk kepada fenomena politisasi identitas etnik (kadang bercampur dengan agama atau yang lainnya) untuk tujuan pembentukan daerah pemerintahan baru. Teritorialisasi identitas sering merupakan awal dari re-grouping kultural atas dasar wilayah yang dalam praktiknya dapat mengambil wajah terbentuknya daerah otonom, bahkan negara baru (Sparringa, 2005; bdk. Castells, 1997:63-68).

Di Indonesia, bentuk konkret dari teritorialisasi identitas ini dapat terlihat dalam kasus pemekaran Gorontalo sebagai suatu provinsi baru, yang mana awalnya menjadi daerah bagian dari Provinsi Sulawesi Utara. Begitu juga dengan realitas pembentukan Provinsi Sulawesi Barat yang sebelumnya menjadi daerah bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan.

Fenomena politik identitas berbentuk teritorialisasi identitas yang ada di Indonesia ini juga pernah terjadi di tempat-tempat lain meskipun mengambil rupa yang sedikit berbeda yaitu pembentukan negara baru. Misalnya, terbentuknya Pakistan dari India dan Bangladesh dari Pakistan. Intinya, dalam teritorialisasi identitas itu suatu kelompok memisahkan diri secara politik dari kelompok dominan.

Masa depan negara-bangsa

Fenomena politik identitas di Indonesia, baik yang berbasis agama ataupun berbasis teritorial, meresahkan kita semua akan kekuatan bangsa Indonesia dalam menjaga keutuhan negara-bangsa Indonesia. Terdapat beberapa karakteristik yang menjadi rujukan pengertian dari negara-bangsa. Tetapi, salah satu gagasan pokok dari konsep negara-bangsa adalah suatu negara terbentuk tidak lagi atas dasar kesamaan identitas dari berbagai kelompok sosial di suatu wilayah tetapi negara terbentuk atas dasar kehendak dari berbagai kelompok sosial dengan latar belakang identitas yang beragam untuk secara bersama-sama mendirikan negara mereka. Indonesia adalah suatu negara-bangsa karena terbentuk dari berbagai kelompok dengan latar belakang sosial dan budaya yang beragam.

Melalui tulisan ini, saya secara khusus menyinggung tentang politik identitas berbentuk teritorialisasi identitas sebagaimana tersebut di atas dengan maksud untuk memperluas perspektif kita tentang politik identitas yang terjadi di Indonesia. Harapannya, dengan perspektif yang lebih luas kita tidak lagi terjebak hanya menyorot bentuk politik identitas tertentu yang ramai diperbincangkan di ruang publik tetapi kita juga menyorot bentuk-bentuk politik identitas lain, yang, meskipun luput dari perhatian publik luas, tetapi mengancam integrasi negara-bangsa Indonesia.       

Wacana dan praktik politik identitas yang mengarah kepada perpecahan bangsa harus kita cegah dan lawan karena ia bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme, multikulturalisme, dan toleransi yang terkandung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika dan dasar negara Pancasila. Nilai-nilai pluralisme, multikulturalisme, dan toleransi yang terkandung dalam semboyan dan dasar negara Indonesia tidak boleh hanya menjadi jargon yang indah dalam praktik politik di Indonesia. Kita, bangsa Indonesia, mesti sungguh mewujudkan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata, menjadi bagian dari kesadaran dan perilaku kita sehari-hari. Salah satu indikasi pokok tentang keberhasilan kita dalam mengamalkan nilai-nilai mulia itu adalah saat integrasi negara-bangsa Indonesia terpelihara.

Penulis: Ransis Raenputra (Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga)