Universitas Airlangga Official Website

Industri Periklanan: “Nyawa” bagi Ekonomi Kreatif Di Indonesia

Foto by Jojonomic

Sub sektor periklanan selalu menarik untuk dibahas karena periklanan merupakan bidang yang sangat krusial dalam Industri Kreatif. Di salah satu buku favorit saya berjudul “Marketing Revolution”, produk atau jasa sebagus dan sebermanfaat apapun adalah percuma jika tidak ada yang beli. Menurut Tung Desem Waringin (2008; 16), yang terpenting dalam bisnis bukanlah kantor, teknologi, pengalaman, bahkan bukan produk atau jasa yang dimiliki bisnis itu sendiri, melainkan yang terpenting adalah “PENAWARAN”. Bisnis belum ada, jika perusahaan tidak memberikan penawaran. Menciptakan dan menyampaikan penawaran yang begitu menarik dan bisa dipercaya adalah tujuan dibuatnya iklan. Oleh karena itu, periklanan merupakan salah satu sub sektor Industri Kreatif yang menjadi ujung tombak utama di dalam bisnis industri apapun. Semua bisnis dapat didongkrak penghasilannya oleh sektor ini.

Customer rela untuk berebut demi mendapatkan produk yang sebetulnya bukan kebutuhan mendesak mereka, karena terkena panic buying yang disebabkan oleh iklan. Misalkan adalah fenomena produk Mcd dengan kemasan bertemakan band Korea BTS, yang iklannya dimainkan oleh personil-personil BTS sendiri. Padahal produk yang dijual sama persis, hanya iklannya saja yang dimainkan oleh personil BTS, serta kemasannya bertemakan grup band BTS. Iklan ini sangat berpengaruh ke penjualan dan menimbulkan panic buying karena kemasan ini terbatas.            

Potensi Industri Periklanan di Indonesia   

Konvergensi digital melahirkan berbagai cara modern baru dalam mengiklankan yang inovatif dan tidak monoton. Misalkan adanya endorsement memakai selebgram, dengan “cara berkomunikasi” yang unik sehingga produk atau jasa apapun yang mereka ulas di sosial media jadi viral di dunia maya. Endorsement dengan cara yang unik ini sering dilakukan oleh public figure yang merupakan gen Z, dengan kreatifitas dan gaya komunikasi mereka masing-masing yang khas. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Indonesia didominasi oleh populasi dari  gen Z (Data BPS, 2021).

Contoh public figure dari gen Z yang juga merupakan endorser di Indonesia adalah Jerome Polin, Jess No Limit, Bonge Citayem, Aci Resti, dan masih banyak lainnya. Banyaknya pelaku gen Z yang terlibat dalam industri periklanan di Indonesia, merupakan potensi yang baik bagi industri ini. Hal tersebut dikarenakan industri periklanan membutuhkan kreatifitas yang unik, tidak monoton, serta kemampuan adaptasi dengan teknologi yang baik, sehingga hal ini sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh gen Z.

Di era ini, periklanan digital yang lebih terukur (measurable) tentu saja mulai lebih digemari oleh pelaku bisnis daripada periklanan dengan cara konvensional seperti menggunakan iklan koran, brosur, radio, serta iklan konvensional lainnya. Menurut Direktur Tata Kelola Ekonomi Digital Kemenparekraf RI, Indonesia memiliki populasi sebanyak 277,7 juta orang, dimana pengguna dunia digital atau bisa disebut pengguna internet adalah sebanyak 204,7 juta orang. Indonesia juga memiliki jumlah pengguna aktif media sosial sebanyak 191,4 juta orang (Yuana Astuti, 2022). Angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat tinggi untuk dapat dipengaruhi oleh iklan digital, di era digitalisasi ini.

Tantangan Industri Periklanan di Indonesia

Menteri keuangan menyebut bahwa ekonomi dunia akan resesi pada tahun 2023 (Kompas, 2022). Hal tersebut akan menurunkan daya beli masyarakat. Dengan demikian, iklan berperan penting dalam memberikan stimulus perputaran uang. Namun dikarenakan daya beli yang menurun, maka budget yang dianggarkan tiap perusahaan atau organisasi untuk beriklan juga lebih dibatasi. Masyarakat hanya ingin memasang iklan yang dirasa betul-betul efektif dan efisien.

Tahun 2024 merupakan acara dan hajatan besar bagi Indonesia. Akan ada banyak iklan kampanye yang mempromosikan calon kandidat presiden. Iklan yang digunakan di dalam masa ini biasanya berupa cetak kaos, gantungan kunci, botol minum, brosur, baliho, lalu jasa kreator konten postingan di media sosial.

Iklan-iklan politik tersebut tentu saja juga tidak akan luput dari review masyarakat, terutama di media sosial. Tentu saja ada komentar serta review masyarakat yang jujur dan yang tidak jujur terhadap iklan tersebut. Seringkali juga masyarakat memberi komentar pada iklan-iklan itu dalam rangka politik praktis untuk mempengaruhi pandangan orang lain. Hal ini menimbulkan lahirnya berita hoax. Dengan demikian dalam menghadapi tahun politik 2024, menjadi tantangan untuk industri periklanan dalam menjalankan bisnis dengan beretika dalam memberikan energi dan suasana positif bagi masyarakat. Pembuat konten iklan di tahun politik harus mampu mengemas kreatifitas ke dalam materi yang sejuk dan mendamaikan semua kelompok masyarakat.

Dari uraian di atas, terlihat banyak contoh dan penjelasan implikasi sub sektor periklanan dalam industri kreatif. Semua potensi serta tantangan di atas harus bisa dipakai secara kreatif dan inovatif untuk membuat periklanan menjadi sub sektor industri kreatif yang semakin menyumbang pertumbuhan ekonomi negara.

Penulis: Hana Angriyani Mardika (Mahasiswa S2 PSDMU UNAIR)