Universitas Airlangga Official Website

Investasi Industri Baterai Litium Indonesia, Sebuah Jalan Menuju Energi Terbarukan atau Kerusakan Lingkungan?

Ilustrasi Litium (Foto: BBC)
Ilustrasi Litium (Foto: BBC)

Pada industri 4.0, Penggunaan baterai semakin meningkat seiring dengan penerapan energi baru terbarukan. Baterai litium menjadi salah satu produk utama dalam mengampanyekan hal tersebut. Penggunaan baterai tersebut beragam, mulai dari penggunaan sehari-hari sampai dengan kendaraan konvensional.

Indonesia telah mengesahkan undang-undang terkait penggunaan kendaraan berbasis energi listrik sebagai upaya mendukung penerapan energi baru terbarukan. Dalam upaya mengurangi emisi karbon, pemanasan global, maupun upaya pencarian energi baru terbarukan, kendaraan listrik berbasis baterai menarik berbagai kalangan, baik pemangku kepentingan maupun masyarakat umum.

Indonesia merupakan pemegang cadangan nikel terbesar di dunia, sebesar 52% (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2020). Cadangan nikel menjanjikan peluang emas bagi industri baterai Indonesia, tetapi tantangan terkait sumber litium masih menghambat langkah menuju produksi massal. Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia memproyeksikan pengeluaran negara salah satunya adalah membangun sektor litiumnya tersendiri.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto, pada CNBC Economic Outlook 2024 menuturkan, bahwa pada tahun ini pemerintah akan membangun 2 industri baterai litium terbesar, yakni litium hidroksida berkapasitas 50 ribu ton dan litium karbonat dengan kapasitas 30 ribu ton.

Upaya lain juga terus dilakukan badan geologi dalam mendeteksi daerah potensial. Akan tetapi, pembangunan sektor tersebut membentuk sebuah pandangan pro maupun kontra, terutama pada isu lingkungan hidup. Apakah langkah-langkah pemerintah cukup untuk memastikan pertumbuhan industri baterai tanpa meninggalkan jejak berbahaya bagi lingkungan?

Dalam memproduksi baterai litium, bahan dasar seperti litium dan nikel menjadi kunci utama dalam proses pembuatannya. Namun, dengan keberlimpahan salah satu bahan, upaya untuk mendiversifikasi sumber daya lain menjadi sangat penting. Meskipun baterai litium dianggap sebagai solusi energi bersih, realitas di belakang produksi mereka seringkali menyisakan jejak polusi yang signifikan dan dampak lingkungan yang besar.

Permintaan yang terus meningkat untuk baterai litium telah mendorong lonjakan dalam penambangan litium, baik itu dari bijih spodumene maupun dari sumber air garam. Namun, proses pembersihan litium sendiri dapat menghasilkan polutan melalui metode seperti kalsinasi dan pencucian, yang seringkali menghasilkan kabut asam dan gas berfluor dalam jumlah besar, menciptakan masalah lingkungan yang berkelanjutan.

Penambangan tambang litium di danau garam juga menimbulkan dampak serius pada lingkungan sekitarnya. Air garam yang dihasilkan selama proses penambangan dapat mengubah karakteristik fisikokimia tanah, meningkatkan salinitas tanah, dan bahkan merusak struktur tanah serta ekosistem lokal. Selain itu, penambangan yang luas juga berpotensi memperparah erosi tanah, mengganggu kualitas air dan tanah, serta mengubah tata letak alami, mengancam keberlanjutan lanskap setempat.

Peningkatan penggunaan air dalam penambangan lithium menimbulkan kekhawatiran serius. Bahkan di daerah yang berlimpah air, risiko bahan kimia beracun merembes ke pasokan air dari kolam penguapan lithium menjadi perhatian utama. Studi luar negeri menunjukkan dampak luas penambangan lithium, yang bisa mencapai 150 mil di hilir, mengancam ekosistem ikan.

Untuk mengatasi tantangan ini, rekayasa sistem industri litium yang ramah lingkungan menjadi hal yang sangat urgen. Dalam konteks ini, konsep industri hijau menjadi solusi terkini untuk mengatasi masalah ini. Penerapan prinsip reduce, recycle, reuse, dan recovery menjadi imperatif dalam industri hijau (Kemenperin: 2021) agar menghasilkan Green economy, green technology dan green product, sambil memastikan adopsi teknologi ramah lingkungan dan energi terbarukan.

Selain itu, manajemen rantai pasokan berkelanjutan harus ditekankan, mengingat batas waktu penggunaan baterai yang memiliki konsekuensi lingkungan yang signifikan di masa depan. Metode evaluasi siklus hidup (Life Cycle Assessment) juga perlu diterapkan untuk memantau dampak lingkungan dari ekstraksi hingga pengolahan limbah baterai.

Kolaborasi dengan pengembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) juga menjadi strategi yang menjanjikan. Pemanfaatan teknologi machine learning untuk memprediksi, menghitung, dan bahkan merancang proses produksi memberikan pendekatan baru dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Meskipun transisi menuju industri hijau mungkin terasa menantang pada awalnya, langkah-langkah ini penting untuk memastikan keberlanjutan hidup bagi manusia dan ekosistem lainnya.

Penulis: Muhammad Fadhil Naufal (Mahasiswa Teknik Industri FTMM UNAIR)Â