UNAIR NEWS – Universitas Airlangga melalui Institute of Tropical Disease (ITD) kembali menggelar seminar nasional yang bertajuk Desain Riset Berbasis Triple Helix. Kegiatan itu berlangsung di Ruang Sidang Lantai 2 Lembaga Penyakit Tropis, Kampus MERR-C UNAIR pada Rabu (27/09/2023).
Seminar itu menghadirkan berbagai ahli dalam bidang kesehatan. Salah satunya adalah Prof Dr Fedik A Rantam DVM selaku Sekretaris LPT Universitas Airlangga sekaligus pakar UNAIR yang membidangi Ilmu Virologi dan Imunologi.
Model Triple Helix
Prof Fedik menyampaikan, model inovasi triple helix mengacu pada serangkaian interaksi antara akademisi, industri dan pemerintah untuk mendorong pembangunan ekonomi dan sosial. Model ini mengasumsikan bahwa kekuatan pendorong pembangunan ekonomi adalah produksi. Kekuatan ini menyebarkan pengetahuan yang diorganisasikan secara sosial. Masing-masing dari ketiganya berpartisipasi dalam menciptakan kekayaan, produksi kebaruan, dan kontrol normatif.
“Triple helix merupakan kombinasi antara tiga aktor sosial, yakni universitas, swasta, dan pemerintah dengan tujuan mendorong pembangunan daerah di bidang inovasi,” ujarnya.
Triple helix merupakan model yang jelas dan bermanfaat bagi pemerintah, industri, dan akademisi. Sehingga, tidak terdapat bukti empiris terkait hambatan dan pendukung dalam pengembangan hubungan kolaboratif antara pemerintah dan industri.
“Harapannya, adanya harmonisasi antara pemerintah, universitas, dan industri sehingga dapat menghasilkan produk yang kompetitif,” imbuhnya.
Akselerasi Pengembangan Riset dan Produk Inovatif
Menurut Prof Fedik, dalam rangka melakukan pengembangan riset dan produk terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Di antaranya, ketersediaan SDM dengan kompetensi khusus, ketersediaan teknologi seperti teknologi reverse engineering dan teknologi nano, ketersediaan material habis seperti medium untuk kultur sel dan rekombinan, ketersediaan sel seperti sel human, sel hewan, dan sel GLP & GMP sebagai media untuk eksplorasi dan produksi bahan aktif.
Kemudian dibutuhkan pula ketersediaan animal SPF untuk eksplorasi dan uji praklinik, kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk membuat pusat industri multifungsi yang berstandar GMP, kerja sama antar perguruan tinggi untuk menciptakan riset bersama dengan target berbeda tetapi output sama, serta kolaborasi antar pemangku kepentingan yang menyediakan pusat training di bidang bioteknologi. “Dalam rangka pengembangan riset dan produk inovatif, perlu adanya rekrutmen yang tersertifikasi atau yang berpengalaman, misalnya Diaspora,” ungkap Prof Fedik.
Strategi Akselerasi Pengembangan Produk Inovatif
Dalam rangka akselerasi pengembangan produk, perlu adanya riset yang berbasis inovatif dengan konsep triple-pentahelix. Sehingga pusat riset di perguruan tinggi dan BRIN, diarahkan ke ranah hilirisasi dan produk seperti fitofarmaka. Misalnya, vaksin strategik yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dengan menerapkan kaidah konsep TRL.
“Dalam riset untuk hilirisasi perlu adanya desain yang matang terkait dengan kebutuhan industri, demand, harga, dan pasar,” paparnya.
Selain itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mengembangkan produk inovatif, seperti diperlukan sinergi hubungan antara pemerintah, industri, dan akademisi. Kemudian sustainability produk juga sangat menentukan keberlangsungan industri, seperti harga yang affordable dan kompetitif.
“Kita bersinergi untuk membuat produk, oleh karena itu perlu untuk membangun komitmen bersama serta menjalin komunikasi yang baik dengan para stakeholders,” imbuhnya.
Penulis: Lady Khairunnisa Adiyani
Editor: Khefti Al Mawalia