Universitas Airlangga Official Website

Jawa Timur dalam Jaringan Rempah Global

ilustrasi rempah-rempah (Sumber: tropicanaslim)

Sebagian besar ilmuwan menganggap bahwa perdagangan rempah di kawasan Asia Tenggara berpusat di kawasan Sumatera dan Indonesia timur, khususnya Kepulauan Maluku. Para ilmuwan menganggap bahwa Indonesia timur adalah penghasil rempah utama, sementara kawasan-kawasan lain dianggap bukan sebagai penghasil rempah. Persepsi tersebut terbentuk sedemikian lama mengacu pada historiografi kolonial yang ditulis oleh para pegawai VOC pada periode awal kedatangan orang-orang Belanda di Nusantara.

Francois Valentijn dalam magnum opus-nya yang berjudul Oud en Nieuw Oost-Indien yang terdiri delapan jilid, memposisikan Maluku (Ambon) sebagai kawasan yang sangat istimewa. Ambon bahkan dibahas secara khusus dalam tiga jilid buku yang ditulis saat ia bertugas sebagai pegawai VOC. Sejak periode kuno, Sumatra dikenal sebagai bandar dagang internasional yang terletak di tengah jalur pelayaran antara Cina dengan India. Sementara itu, Kepulauan Indonesia timur merupakan produsen komoditas rempah yang paling dicari di seluruh penjuru dunia. Sebelum digunakan untuk bumbu masakan, cengkeh dan pala dikenal sebagai bahan obat-obatan. Keduanya dapat dijumpai di dalam kitab pengobatan orang-orang Cina dan India. Menariknya, orang-orang Cina tidak begitu tepat mencatat daerah asal rempah-rempah dalam catatan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memperoleh rempah dari sumber produksinya, melainkan melalui perantara pedagang atau upeti yang dibawa utusan resmi kerajaan.

Jawa bagian timur sejak abad ke-9 merupakan pusat kerajaan Hindu setelah kepindahannya dari Jawa bagian tengah. Sayangnya peran ekonomi Jawa bagian timur pada periode itu kurang dieksplorasi secara maksimal, sehingga kurang diketahui secara luas. Banyak orang menyangka bahwa kerajaan-kerajaan tua yang berpusat di Jawa bagian timur tidak memiliki kontribusi yang cukup dalam jaringan jalur rempah. Prasasti Dinoyo yang ditemukan di daerah Malang yang berangka tahun 760 Masehi sudah menceritakan posisi Jawa bagian timur dalam perdagangan global. Pelayaran sudah berlangsung intensif pada saat itu.

Pelayaran dan perdagangan di Jawa bagian timur kemudian semakin meningkat pada akhir abad ke-9. Keberadaan pedagang asing memperkuat hipotesis keterlibatan Jawa bagian timur dalam perdagangan global telah dimulai pada abad ke-9, mengalami percepatan pada abad ke-10, dan semakin cepat sejak abad ke-11. Berdasarkan asal kedatangannya, telah terbentuk relasi dagang antara Jawa bagian timur dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara daratan, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Pada medio awal abad ke-10, pusat kekuasaan Mataram dipindahkan dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur.

Jan Wisseman Christie berpendapat keputusan untuk memindahkan pusat kekuasaan adalah berkaitan dengan ledakan perdagangan maritim yang terjadi sejak abad ke-10. Tingginya kebutuhan rempah-rempah, terutama lada, cengkeh, dan pala sebagai bahan obat-obatan meningkatkan permintaan terhadap komoditas tersebut. Para pedagang dari Jawa bagian timur menjadi perantara yang memperoleh rempah dari sumbernya, kemudian didistribusikan melalui pelabuhan di pesisir utara Jawa atau ke bandar dagang internasional di Sumatra. Selama proses tersebut, Jawa bagian timur memiliki peran yang sangat besar dalam hal perdagangan dan distribusi rempah dari Kepulauan Timur. Hilir-mudik pelayaran dan perdagangan di perairan Laut Jawa melewati Jawa bagian timur menyebabkan masuknya komoditas-komoditas lokal ke pasar global, bahkan telah mendorong terbentuknya kota-kota pelabuhan di pesisir utara pada abad ke-14.

Seiring dengan kedatangan orang-orang asing, muncul beberapa jenis rempah dalam sumber data tekstual di Jawa pada abad ke-11. Prasasti Manañjung yang ditemukan di Malang menyebutkan adanya kawasan sumber produksi, tempat pengumpulan, sekaligus pasar tempat perdagangan rempah dan biji-bijian di sekitar Arjuna-Welirang. Mirica (merica/ Piper nigrum), kacaŋ (kacang), hadas (adas/ Foeniculum vulgare), kasumū, jamuju, pañjlaŋ, wuṅkudu (mengkudu/ Morinda citrifolia), dan beras adalah komoditas penting daerah tersebut, yang dikumpulkan di tempat-tempat penyimpanan dan didistribusikan melalui jalan darat atau sungai. Dalam catatan Dinasti Song, beberapa jenis rempah beraroma dan berasa pedas yang dijual di Jawa adalah lada, kapulaga, jahe, dan kemukus. Pada abad ke-12 dan ke-13, Jawa bagian timur semakin dikenal orang-orang asing sebagai bandar pengumpul rempah-rempah.

Dalam perjalanannya menyusuri Jalur Sutra, Marco Polo menyebutkan komoditas rempah yang diperdagangkan di Jawa bagian timur adalah lada, pala, spikenard, lengkuas, kemukus, cengkeh, dan berbagai macam rempah untuk keperluan obat-obatan. Banyaknya pedagang yang mencari komoditas-komoditas tersebut membawa keuntungan yang sangat besar di pasar Jawa. Dalam perjalanannya mengunjungi daerah-daerah di Jawa bagian timur, Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit juga membawa perbekalan berbagai jenis rempah antara lain mirica (merica/ Piper nigrum), kasumba (kesumba/ Carthamus tinctorius), kapas, kalapa wwaḥ (buah kelapa), kalar asĕm (asam jawa/ Tamarindus indica), dan wijyān (wijen/ Sesamum indicum). Prasasti Biluluk yang diresmikan pada tahun 1391 juga menyebutkan perdagangan sahaŋ (merica/ Piper nigrum), cabe (cabai jawa/ Piper retrofractum), kumukus (kemukus/ Piper cubeba), dan kapulaga (Amomum compactum) di wilayah pedalaman Jawa bagian timur.

Rempah-rempah tumbuh di daerah subur di lembah gunung atau perbukitan. Kakawin Pārthayajña menggambarkan kondisi alam tempat tumbuhnya berbagai tanaman dan beberapa jenis rempah di wilayah tebing curam. Tidak jauh dari situ terdapat pemukiman penduduk dan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian. Mereka menanam jalureh, kacaŋ uris, bayam (Amarantus oleraceus), labu (Lagenaria vulgaris), mentimun, jali (Eleusine coracana), jelujur, jawawut (Setaria italica), ciplakan hitam, ketumbar (Coriander), bawang putih (Allium sativum), laja (lengkuas/ Alpinia galanga), bawang merah (Allium cepa), patula (Trichosantes deuca), kacang hijau, asam, mangga, dan pisang hutan. Selanjutnya, hasil panen dari tanaman tersebut dibawa oleh penduduk dengan alat transportasi darat maupun sungai menuju ke pasar atau ke pelabuhan untuk dijual kepada para pedagang asing yang membutuhkan barang dagangan rempah untuk dibawa ke pasar internasional, baik di Asia maupun di Eropa. Jawa bagian timur memiliki peran yang sangat strategis dalam perdagangan rempah global. 

Penulis: Purnawan Basundoro