Pemberantasan Tuberkulosis Paru (TB) di Indonesia, meskipun mencapai kemajuan yang luar biasa, masih jauh dari selesai. Duduk di peringkat kedua sebagai negara dengan beban TB tertinggi secara global, pemerintah Indonesia harus mencurahkan lebih banyak perhatian untuk mengendalikan penyebaran TB. Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa pada tahun 2018, kejadian TB turun secara global sebesar 2% dan tetap menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia dari penyakit menular lainnya hingga tahun 2019. Selain itu, ada kesenjangan sebanyak 3,6 juta kasus antara perkiraan jumlah aktual kasus TB dan case notification rate (CNR), yang hampir setengahnya berasal dari India, Indonesia, dan Nigeria. Di Indonesia, insiden TB cenderung menurun dari tahun 2000 hingga 2020, tetapi pada tahun 2016 saja, total kejadian TB aktif menjadi dua kali lipat dari perkiraan jumlah kejadian tahun 2015 yang mencapai satu juta kasus baru. Pada tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan beban TB tertinggi, yaitu sekitar 8,5% dari total kasus secara global.
Wacana pengendalian TB seringkali terlalu terfokus pada pasien sementara kurang memperhatikan pencegahan infeksi nosokomial yang berdampak pada petugas kesehatan. Awalnya, infeksi TB nosokomial tidak menjadi prioritas karena kemajuan terapi antibiotik dan penurunan kejadian TB, terutama di negara-negara berpenghasilan tinggi. Namun, sejak sekitar tahun 1980, infeksi nosokomial sebagai risiko pekerjaan telah menjadi perhatian global, menyusul Epidemi TB yang resistan terhadap berbagai obat (MDR) umumnya ditularkan di fasilitas perawatan kesehatan dari orang yang hidup dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). Untuk konteks ini saja, 200 kasus TB baru telah berkembang dengan tingkat kematian mencapai 50-80%. Sebuah studi meta-analisis lebih lanjut menunjukkan urgensi mencegah penularan ke petugas kesehatan dengan menunjukkan bahwa petugas kesehatan tiga kali lebih mungkin terinfeksi TB aktif daripada populasi umum karena pajanan kerja dengan pasien dengan TB aktif.
Banyak penelitian sebelumnya tentang risiko TB di tempat kerja telah difokuskan pada pengurangan risiko dan penilaian menggunakan analisis risiko tempat kerja, sementara penilaian risiko tidak dapat dipisahkan dari komponen subjektifnya, persepsi risiko. Dalam konteks tempat kerja, persepsi risiko dan evaluasi pribadi dari lingkungan tempat kerja akan menentukan bagaimana individu mengurangi risiko dan mempengaruhi tingkat kematian risiko dan keselamatan tempat kerja secara keseluruhan. Oleh karena itu, jika pekerja salah menilai risiko, terutama ketika ada kesenjangan antara persepsi risiko dan bahaya yang sebenarnya, individu akan enggan untuk mengadopsi perilaku pencegahan. Oleh karena itu, kami tertarik untuk menyelidiki; (a) struktur yang mendasari RC penularan nosokomial TB; (b) faktor penentu persepsi risiko TB; dan (c) membandingkan persepsi risiko petugas kesehatan tentang tertular TB dengan penilaian risiko ahli.
Kami merekrut 179 tenaga kesehatan yang bekerja di 10 Puskesmas dan Rumah Sakit di kota Surabaya untuk menjadi partisipan dalam penelitian kami. Kami meminta partisipan untuk mengisi kuesioner fisik, namun sebelumnya partisipan harus menyatakan kesediaannya berpartisipasi dengan menandatangani lembar persetujuan.
Setelah pengambilan data, kami melakukan analisis data dengan exploratory factor analysis (EFA) untuk mengetahui struktur karakteristik risiko, lalu dua pola yang teridentifikasi dengan EFA menjadi salah satu variabel independen untuk memprediksi persepsi risiko. Kami menyimpulkan bahwa karakteristik risiko B Paru mengerucut menjadi dua dimensi, yaitu controllability of damage dan knowledge-evoked threat. Partisipan yang cenderung memiliki skor controllability of damage yang lebih tinggi akan menganggap risiko TB nosokomial sebagai lebih mengerikan dan parah tetapi lebih yakin untuk mengendalikan dan menghindarinya. Di sisi lain, knowledge-evoked threat yang lebih tinggi menyiratkan bahwa peserta lebih berpengetahuan tentang tingkat keparahan dan bahaya risiko TB nosokomial, percaya bahwa ahli kesehatan dan keselamatan kerja di fasilitas tersebut juga terampil dalam menangani risiko, dan berpikir bahwa konsekuensi terburuk dari tertular risiko TB akan segera muncul.
Terakhir, setelah melakukan analisis structural equation modelling (SEM), kami menemukan bukti bahwa aspek pengendalian risiko TB adalah penentu yang lebih mendalam dalam memprediksi persepsi risiko daripada ketakutan yang ditimbulkan oleh pengetahuan, menyiratkan bahwa petugas kesehatan mungkin mendapat manfaat dari pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan keyakinan mereka tentang pengendalian risiko TB meskipun tingkat keparahannya lebih tinggi dari risiko yang lain.
Penulis: Zein, R.A., Wulandari, R.D., Ridlo, I.A., Hendriani, W., Suhariadi, F., & Rianto, A. (2022)
Jurnal: The characteristics of occupational tuberculosis risk in healthcare workers. International Journal of Health Planning and Management. 1- 16. https://doi.org/10.1002/hpm.3489