Lepra atau kusta atau Morbus Hanen merupakana penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan M. lepromatosis, yang ditularkan melalui droplet dan kontak erat dengan orang sakit lepra dalam waktu yang lama. Gejala yang menjadi khas dari penyakit lepra ini adalah pembesaran saraf tepi dan adanya lesi di kulit. Lepra dapat menyerang baik anak-anak maupun dewasa.
Kasus lepra yang terjadi pada anak-anak merupakan indikator penting dalam mencapai target eliminasi lepra karena kasus lepra anak mengindikasikan adanya penularan aktif yang masih terjadi di masyarakat. Indonesia menempati urutan nomor dua dengan jumlah penderita lepra anak terbanyak di dunia, setelah India. Meskipun jumlah kasus lepra terus menurun pada tahun 2018 namun di tahun yang sama Indonesia memiliki peningkatan kasus dari 1.755 menjadi 1.891 kasus, dengan 33 kasus disertai dengan disabilitas tingkat 2.
Indonesis telah mencapai angka eliminasi lepra pada tahun 2000 namun Provinsi Jawa Timur baru mencapainya pada tahun 2017. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlan pasien lepra terbanyak di Indonesia. Sedangkan untuk kasus lepra anak di Jawa Timur sebanyak <5% antara tahun 2009 dan 2016. Akan tetapi Surabaya, salah satu kota yang ada di Jawa Timur, masih tergolong endemis lepra karena memiliki kasus lepra anak sebanyak 8%.
Sebuah penelitian retrospektif dilakukan untuk mengetahui demografi, epidemologi klinis, dan beberapa masalah lain dari kasus lepra anak. Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, yang merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di Indonesia bagian timur. Penelitian ini menggunakan rekam medis yang diambil dari Divisi Morbus Hansen Poli Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo dari Januari 2010 hingga Dsember 2019.
Sebanyak 70 kasus baru didiagnosis selama 2010 hingga 2019 dengan jumlah keseluruhan kasus lepra adalah 1.319 kasus. Jumlah kasus paling sedikit ada pada tahun 2016 yaitu 3 kasus (3%) dan jumlah kasus terbanyak pada tahun 2012 yaitu 11 kasus (7,74%). Secara keseluruhan terdapat peningkatan kasus dalam 10 tahun terakhir. Terdapat 3,9% kasus pada tahun 2010 kemudian naik menjadi 6,7% kasus pada tahun 2019. Rentang usia anak yang didiagnosis lepra yaitu antara 4-14 tahun. Pada penelitian ini ditemukan kasus lepra anak paling banyak pada anak laki-laki. Sebanyak 25 kasus teridentifikasi memiliki kontak erat dengan pasien lepra dewasa.
Kasus lepra tipe multibasiler (MB) lebih dominan ditemui dalam penelitian ini. Tipe pausibasiler (PB) ditemukan sebnayak 12 kasus dan tipe multibasiler (MB) sebanyak 58 kasus. Penentuan tipe lepra sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan oleh WHO (World Health Organization). Pemeriksaan slit skin smear (SSS), salah satu pemeriksaan yang rutin dilakukan di RSUD Dr. Soetomo selain pemeriksaan mikroskopik, positif pada 26 kasus MB. Sebagai tambahan, pada kasus lepra anak juga bisa terjadi deformitas, yaitu deformitas tingkat I terjadi pada 1 tipe PB dan 8 tipe MB. Sedangkan deformitas tingkat 2 terjadi sebanyak 2 kasus pada tipe MB. Selain itu, anak juga bisa mengalami reaksi lepra. Reaksi lepra yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu tujuh kasus reaksi tipe I dan delapan kasus pada reaksi tipe 2, keseluruhan reaksi lepra hanya terjadi pada tipe MB.
Kasus lepra pada anak terjadi bergantung pada respon imun individu anak serta faktor genetik yang dapat berpengaruh untuk menderita lepra. Sebagian besar anak didiagnosis lepra pada anak yang lebih tua yaitu usia 10-14 tahun. Hal ini dikaitkan dengan periode inkubasi lepra yang membutuhkan waktu lama dan kontak yang erat. Ditemukannya kontak erat dalam komunitas meningkatkan risiko transmisi lepra sebesar 2x dan meningkat menjadi 9 kali pada kontak serumah.
Dalam penelitian ini ditemukan kasus lepra lebih banyak pada anak laki-laki. Ada penelitian yang menyatakan hal yang sama namun ada juga penelitian yang melaporkan anak perempuan lebih mendominasi. Adanya perbedaan ekonomi dan sosiokultur di masyarakat menjadi alasan perbedaan ini. Perempuan lebih cenderung terlambat untuk mencari pertolongan medis dan menggunakan terapi non-medis dalam jangka waktu lama. Sedangkan anak laki-laki lebih cenderung banyak terpapar oleh berbagai lingkungan daripada anak perempuan. Selain itu ada perbedaan respon imun serta hormon seks pada anak perempuan dan anak lakik-laki turut menjadi faktor yang dapat berpengaruh.
Lepra tipe MB, yang lebih banyak ditemukan dalam penelitian ini, membutuhkan perhatian yang khusus karena memiliki indeks bakteri yang lebih tinggi sehingga meningkatkan risiko transmisi serta dihubungkan dengan deformitas dan diabilitas yang terjadi. Pada lepra tipe MB memiliki pembesaran saraf tepi yang lebih banyak dan pembesaran saraf tepi ini membahayakan karena dapat menyebabkan disabilitas.
Penelitian ini juga masih menemukan anak yang tidak patuh pengobatan (31,4%). Ketidakpatuhan ini disebabkan karena pengobatan yang lama dan kesulitan untuk mengonsumsi obat terlebih pada anak yang lebih muda. Kondisi ini menakutkan, terutama pada tipe MB, karena terapi yang tidak tuntas dapat menyebabkan resisten obat sehingga terjadi kegagalan pengobatan dan dapat menggagalkan program lepra yang dijalankan pemerintah.
Penulis : Prof.Dr.Cita Rosita Sigit Prakoeswa,dr.,Sp.KK(K)
Detail dari tulisan ini dapat dilihat pada artikel kami di :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35008042/
Pediatric Leprosy Profile in the Postelimination Era: A Study from Surabaya, Indonesia
Novianti Rizky Reza , Bagus Hario Kusumaputro, Medhi Denisa Alinda , Muhammad Yulianto Listiawan, Hok Bing Thio , Cita Rosita Sigit Prakoeswa