Berakhirnya rezim Soeharto tidak menghilangkan pengaruh militer, terutama di bidang pemerintahan dan ekonomi. Eks militer secara konsisten mendominasi politik nasional di Indonesia dalam pemilu nasional melalui calon presiden dan wakil presiden yang berlatar belakang militer (Harymawan, 2018). Keberadaan purnawirawan TNI dalam kegiatan bisnis masih tetap eksis hingga saat ini. Nurul Fitriani, Gery Lusiano Firmansah, dan Iman Harymawan melalui penelitiannya menemukan perusahaan yang terhubung secara militer di Indonesia sebanyak 16% dari total ukuran sampel yang digunakan. Studi sebelumnya menemukan bahwa perusahaan terkoneksi militer memiliki beberapa keuntungan seperti suku bunga yang lebih rendah (Harymawan, 2018), penghindaran pajak perusahaan yang lebih rendah (Law & Mills, 2017), serta akses pembiayaan yang lebih mudah (Agrawal dan Knoeber, 2001; Goldman, dkk., 2013). Namun, literatur tentang bagaimana dewan berlatar belakang militer mempengaruhi kebijakan utang masih terbatas.
Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh Nurul Fitriani, Gery Lusiano Firmansah, dan Iman Harymawan berfokus pada preferensi dewan berlatar belakang militer dalam proses penentuan kebijakan utang perusahaan di konteks negara Indonesia. Indonesia merupakan setting yang menarik karena memiliki peraturan terkait pembatasan utang melalui PMK Nomor 169/PMK.010/2015. Aturan tersebut mengatur tentang batas maksimum beban bunga pinjaman yang dapat dibiayakan sebagai pengurang pajak. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki risiko default tertinggi (Osmorsa, 2019) serta telah dipimpin oleh personel militer selama lebih dari 50 tahun (Harymawan, 2018).
Metode Penelitian dan Hasil
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti tentang bagaimana keberadaan dewan direksi dan/atau komisaris berlatar belakang militer mempengaruhi kebijakan utang perusahaan sebelum dan setelah adanya thin capitalization policy. Oleh karena itu, sampel penelitian yang digunakan adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2012 – 2019 dengan mengecualikan sektor industri yang tidak terikat peraturan PMK Nomor 169/PMK.010/2015. Setelah melakukan pengecualikan, diperoleh 2330 observasi yang digunakan sebagai sampel penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan terkoneksi militer memiliki kebijakan utang yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang tidak terhubung secara militer. Hal ini karena dewan terkoneksi militer dianggap memiliki keberanian mengambil risiko, overconvidence (Harymawan, 2018), memiliki kemampuan melobi untuk memperoleh akses pendanaan eksternal yang lebih murah (Agrawal & Knoeber, 2001; Goldman, dkk., 2013) sehingga memunculkan sifat agresif. Lebih lanjut, hasil penelitian menemukan bahwa dewan berlatar belakang militer dapat mendorong kebijakan utang yang lebih tinggi hanya ketika menduduki jabatan sebagai dewan komisaris. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa dewan direksi berlatar belakang militer berpengaruh tidak signifikan terhadap kebijakan utang. Hal ini karena dewan komisaris di Indonesia didominasi oleh pemegang saham mayoritas (Siregar & Utama, 2008; Arifai dkk., 2018) sehingga bertindak sebagai rent seeker. Menurut Sharma dkk (2018), penggunaan pembiayaan utang lebih menguntungkan dari sudut pandang pemegang saham daripada penerbitan saham baru.
Menariknya, hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan thin capitalization policy tidak cukup efektif dalam menstimulasi penggunaan utang yang lebih rendah. Namun, aturan ini menjadi efektif ketika diterapkan di perusahaan terkoneksi militer yangmana setelah adanya PMK Nomor 169/PMK.010/2015, perusahaan terkoneksi militer mendorong penggunaan utang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena dunia militer menjunjung tinggi kepatuhan dan nasionalisme sehingga kedua karakteristik tersebut melekat erat dalam diri dewan berlatar belakang militer. Law & Mills (2016) memaparkan bahwa dewan dengan pengalaman militer berbagi nilai-nilai umum yang terkait dengan legitimasi pemerintah serta menunjukkan nasionalisme yang tinggi sehingga memiliki kepatuhan yang tinggi di bidang perpajakan. Benmelech & Frydman (2015) menemukan bahwa dewan dengan background militer memiliki etika yang tinggi serta lebih kecil kemungkinan terlibat dalam aktivitas kecurangan. Dengan demikian, meskipun dewan terkoneksi militer memiliki kemudahan dalam pembiayaan utang, rasa nasionalisme yang tinggi mendorong mereka untuk patuh terhadap aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Hasil penelitian diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menilai efektivitas kebijakan thin capitalization policy. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi peran dewan komisaris berlatar belakang militer dengan thin capitalization policy dapat secara efektif mendorong kebijakan utang yang lebih rendah. Temuan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan terkait pengangkatan dewan komisaris berlatar belakang militer pasca implementasi thin capitalization policy.
Penulis: Iman Harymawan, S.E., MBA., Ph.D.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
Fitriani, N., Firmansah, G. L., Harymawan, I. (2022). Debt policy of military-connected firms in Indonesia. Investment Management and Financial Innovations, 19(3), 105-118.