Universitas Airlangga Official Website

Kekerasan terhadap Ibu Hamil di Indonesia

Foto by Orami

Selama masa kehamilan, seorang ibu membutuhkan lingkungan fisiologis dan psikologis yang sehat. Menjaga stabilitas kondisi fisik dan mental ibu hamil menjadi salah satu upaya untuk menurunkan risiko komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Mencegah ibu agar tidak mengalami trauma akan berdampak baik pada perkembangan janin. Namun hal ini berbanding terbalik dengan realita maraknya kasus kekerasan pada ibu hamil. Meskipun jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan terlihat rendah, proporsi kekerasan terhadap wanita secara global diperkirakan relatif tinggi.

Kekerasan pada ibu hamil yang dilaporkan seringkali berkaitan dengan karakteristik budaya daerah. Beberapa budaya lokal di Indonesia diduga melegitimasi kekerasan terhadap ibu hamil. Sebagai contoh, wanita suku Muyu Papua yang akan melahirkan harus tinggal di gubuk yang jaraknya cukup jauh dari rumah mereka. Hal ini untuk mencegah penularan penyakit melalui darah yang keluar saat melahirkan, sebagaimana keyakinan yang telah diturunkan oleh nenek moyang. Mereka juga meyakini bahwa darah ini akan membawa kesialan. Contoh lainya, pada suku Gayo Aceh, ibu hamil terpaksa bekerja di ladang dan melakukan tugas-tugas rumit seperti mengangkat beban berat. Masyarakat suku Gayo percaya bahwa semakin keras ibu hamil bekerja, proses melahirkan akan semakin lancar. Realita tersebut melandasi pentingnya penelitian untuk menganalisis berbagai faktor yang terkait dengan kekerasan ibu hamil di Indonesia.

Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan ibu hamil di Indonesia banyak terjadi pada masyarakat miskin di wilayah pedesaan, yang mana ibu hamil tinggal di rumah yang sama dengan suami. Korban kekerasan ini didominasi oleh kelompok usia 30-34 tahun, berpendidikan menengah, tidak bekerja, dan telah memiliki riwayat hamil dan melahirkan (multipara). Sedangkan suami sebagai pelaku kekerasan mayoritas berusia 35-39 tahun, berpendidikan menengah, dan berstatus pekerja.

Berdasarkan tingkat kekayaannya, semakin rendah kekayaan ibu hamil, semakin tinggi kemungkinan kekerasan yang akan didapatkan. Kondisi ini selaras dengan realita bahwa ibu hamil seringkali menjadi sasaran pelampiasan amarah suami akibat tingginya tekanan hidup dan tanggung jawab ekonomi yang diemban. Temuan ini memperkuat hubungan antara kekerasan terhadap wanita dan kemiskinan. Penelitian terkait juga mengonfirmasi fakta yang sama di wilayah Mesir, Sudan Selatan, dan Afghanistan.

Selanjutnya, analisis berdasarkan tempat tinggal menemukan bahwa Ibu hamil yang tinggal bersama suami, mertua, atau keluarga besar suami memiliki lebih sedikit otonomi atau kebebasan untuk berakitivas di rumah. Situasi ini mendorong tingginya risiko kekerasan terhadap mereka. Pada keluarga yang menganggap lemah peran wanita, jika ibu hamil berusia semakin tua dan hanya menggantungkan hidup pada suami, maka risiko kekerasan akan semakin meningkat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa potensi kekerasan semakin tinggi pada ibu hamil yang memiliki lebih banyak anak.

Usia dan tingkat pendidikan suami juga berkaitan dengan kasus kekerasan pada ibu hamil di Indonesia. Suami dengan usia yang lebih muda cenderung memiliki emosi yang lebih bergejolak. Apabila tidak diikuti kemampuan pengendalian emosi yang baik, mereka akan sangat mudah untuk melakukan kekerasan terhadap istrinya. Berdasarkan tingkat pendidikan, kemungkinan kekerasan lebih besar dilakukan oleh suami dengan tingkat pendidikan dasar/menengah. Terlepas dari faktor pendidikan, sistem patriarki yang diyakini berbagai kelompok etnis di Indonesia justru memainkan peran penting dalam kasus kekerasan ibu hamil. Pada beberapa kasus, tingginya otoritas suami dalam keluarga meleburkan adanya tindakan kekerasan dan menganggapnya sebagai kondisi normal tanpa perlu penyelesaian perkara di ranah hukum.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan pada ibu hamil berkaitan dengan status kekayaan, kepemilikan tempat tinggal, paritas, dan tingkat pendidikan suami. Risiko kekerasan selama kehamilan semakin meningkat pada ibu dengan status kekayaan rendah, tinggal bersama suami atau keluarga suami, dan memiliki paritas tinggi. Menurut tingkat pendidikannya, suami dengan pendidikan dasar/menengah lebih mungkin untuk melakukan kekerasan dibandingkan kategori pendidikan lainnya. Situasi ini didukung pula dengan kuatnya sistem patriarki di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong kebijakan yang memperluas kesempatan wanita untuk mengejar pendidikan tinggi. Dalam hal ini pemerataan pendidikan dapat menjadi strategi peleburan dampak sistem patriarki yang merugikan wanita, utamanya pada kasus kekerasan selama kehamilan.

Penulis : Ratna Dwi Wulandari, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga

Sumber: Laksono AD & Wulandari RD. Violence against Pregnant Women in Indonesia. Iranian Journal of Public Health. 2022; 51(6): 1265-1273

Link Artikel: https://publish.kne-publishing.com/index.php/ijph/article/view/9670