Universitas Airlangga Official Website

Kekuatan dan Kepentingan Antar Aktor(Sebuah tantangan dalam Implementasi Collaborative Governance)

Kolaborasi diantara pemangku kepentingan sebagai bentuk dari new public governance yang mempunyai nilai dasar (Osborne, 2006; Peters et al., 2022). Nilai dasar itulah yang menjadi karakteristiknya sekaligus muatan pokoknya. Dengan kata lain, nilai dasar itulah yang menjadi titik tekannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan aktor dengan berbagai pemikiran dan pengetahuan masing-masing aktor dalam proses kolaborasi akan menemui kendala pelaksanaan kolaborasi. Karena memungkinkan adanya aktor yang lebih dominan dan memiliki kemampuan (kekuasaan) yang lebih dibandingkan dengan aktor lainnya.

Permasalahan yang mendasar dalam proses kolaborasi adalah tidak seimbangnya otoritas di antara keterlibatan aktor state dan aktor non-satate didalam perumusan kebijakan (Robertson & Choi, 2012; Stone, 2017). Fenomena yang terjadi yang menghambat kolaborasi diantara aktor dalam kebijakan revitalisasi rumah warga kawasan tepi sungai Kota Banjarmasin disebabkan terjadinya perbedaan pendapat dan tarik-menarik kepentingan diantara aktor-aktor yang terlibat, sehingga kolaborasi yang dibangun tidak berjalan dengan baik. Hal ini menjadi sebuah keniscayaan bahwa kolaborasi dalam kebijakan dipengaruhi oleh sekian banyak pemangku kepentingan (Clark, 2021; Woldesenbet, 2020).

Adanya penolakan warga yang rumahnya berada pada kawasan tepi sungai terhadap kebijakan revitalisasi adalah permasalahan yang dihadapi pemerintah Kota Banjarmasin, dan permasalahan ini adalah permasalahan yang membutuhkan strategi pemerintah Kota Banjarmasin untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat sebagai objek kebijakan (Afdholy, 2017). Adapun adanya penolakan masyarakat terhadap kebijakan revitalisasi rumah warga kawasan tepi sungai Kota Banjarmasin dikarenakan mereka bermukim pada tepian sungai sudah turun-temurun bahkan sebelum ada peraturan yang melarang bermukiman pada kawasan tepian sungai.

Perbedaan ini juga terjadi pada antar komunitas, seperti komunitas budaya mengingikan penanganan permukiman bantaran sungai dengan cara melakukan penataan, tetapi tidak dengan komunitas peduli sungai yang menginginkan sungai bebas dari adanya permukiman pada bantarannya. Bahkan kasus ini juga terjadi di lingkungan pemerintahan Kota Banjarmasin, terdapat perbedaan kepentingan antara Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang dengan Dinas Perumahan dan Permukiman dalam kebijakan revitalisasi rumah warga kawasan tepi sungai Kota Banjarmasin. Tentu, adanya perbedaan kepentingan antara para aktor yang terlibat akan menghambat proses kolaborasi.

Fenomena perbedaan kepentingan ini mirip dengan kebijakan daerah dan kebijakan pusat dalam merevitalisasi rumah warga di Kota Banjarmasin yang saling berkonflik. Peraturan dipemerintah pusat yang mewajibkan permukiman masyarakat pada bantaran sungai digusur dan dijadikan sempadan sungai, sedangkan pada peraturan daerah dalam penanganan permukiman kumuh dengan system zonasi. Sistem zonasi dari peraturan daerah yaitu ada zonasi-zonasi permukiman bantaran sungai yang dipertahankan demi kepentingan pengembangan objek wisata susur sungai dan ada zonasi permukiman bantaran sungai yang harus direlokasi.

Permasalahan kebijakan daerah dengan kebijakan pusat atau tarik ulur kewenangan urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan. Apabila kebijakan yang dibangun untuk membentuk pola kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah tidak memperhatikan aspek karakter dan potensi daerah, tentu akan menimbulkan permasalahan ekses sosial ekonomi, politik yang rumit, dan biaya pembangunan yang sangat tinggi. Peraturan daerah yang berkaitan dengan sejarah suatu daerah sekurang-kurangnya berhak melindungi karakter daerah tersebut, meskipun peraturan daerah yang mengatur hal ini sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang, namun sudah menunjukkan nilai-nilai dan perkembangan budaya daerah, sehingga harus dipertahankan. Misalnya, peraturan daerah tentang pembentukan desa atau wilayah perlu dipertahankan karena peraturan tersebut telah menjadi landasan hukum sejarah keberadaan daerah-daerah tersebut, termasuk nilai budaya dari adanya rumah-rumah warga pada kawasan tepi sungai di Kota Banjarmasin.

Fenomena kebijakan revitalisasi rumah warga kawasan tepi sungai Kota Banjarmasin, aktor memiliki peran yang penting pada setiap tahapan proses kebijakan. Dalam teori collaborative governancemenjelaskan bahwa keterlibatan aktor merupakan hal yang wajib dalam proses pelaksaannya. Collaborative governance adalah proses pelaksanaan kebijakan atau program yang melibatkan pemangku kepentingan dalam membuat solusi yang efisien dan efektif untuk masalah publik. Tujuan utama dari proses collaborative governance adalah menghasilkan warga yang lebih terinformasi dan lebih terlibat, peserta yang lebih inklusif dalam pengambilan keputusan, lebih banyak pemangku kepentingan dalam kemitraan masyarakat, metode musyawarah yang lebih baik, dan akuntabilitas dan kepercayaan yang lebih besar kepada pemerintah (Emerson & Nabatchi, 2015). Collaborative governance menawarkan strategi tata kelola yang berbeda dari privatisasi dan regulasi, yang telah digunakan untuk menjawab tantangan yang dihadapi pemerintah (Bianchi et al., 2021b; Sher-Hadar et al., 2020).

Dari fenomena permasalahan yang terjadi pada kebijakan revitalisasi rumah warga kawasan tepi sungai Kota Banjarmasin memberikan penjelasan bahwa sebenarnya banyak aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan berarti banyak kepentingan juga terlibat di antara para aktor yang mengakibatkan konflik kebijakan dan dilema kebijakan yang memperburuk proses pengelolaan kolaboratif. Merumuskan kebijakan dalam perspektif collaborative governance yang harus diketahui adalah bagaimana tanggung jawab aktor, motivasi aktor, kepercayaan aktor, keyakinan aktor, pengetahuan aktor, dan pengalaman aktor untuk melakukan deliberasi secara kolektif (Patton et al., 2015). Implementasi collaborative governance perlu mengetahui bagaimana aktor memiliki motivasi dan keyakinan dalam bekolaborasi tanpa ada motif kepentingan atas kebijakan yang diputuskan (Vining & Weimer, 2002; Weimer & Vining, 2017). Selanjutnya Dunn (2018) juga menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan public dibutuhkan keterlibatan aktor non-pemerintah sebagai pemberi rekomendasi pada perumusan kebijakan publik.

Dari berbagai pendapat ahli yang dipaparkan pada uraian diatas sangat jelas bahwa keberhasilan dalam melakukan collaborative governance dibutuhkan komitmen aktor, tanggung jawab aktor, motivasi aktor, kepercayaan aktor, keyakinan aktor, pengetahuan aktor, dan pengalaman aktor. Akan tetapi pada posisi teoritis yang menjadi tantangan implementasi collaborative governance yaitu lebih memberikan penekanan bahwa ada dua jenis pengaturan dalam rancangan kebijakan publik yaitu pengaturan kekuasaan dan pengaturan ketertarikan aktor dalam proses kolaborasi.

Penulis: Muhammad Noor, Falih Suaedi, and Antun Mardiyanta.

Noor, M., Suaedi, F., & Mardiyanta, A. (2023). Strengths and Interests Between Actors in Collaborative Governance: Review of the Riverside Settlement Revitalization Policy in Banjarmasin City. JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik)27(2), 93-106.

https://doi.org/10.22146/jkap.83437