Pemakaian produk obat tradisional khususnya herbal akhir-akhir ini meningkat pesat. Di Indonesia dikenal tiga kategori produk herbal yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Produk jamu didasarkan pada khasiat empiris. Produk obat herbal terstandar belum memiliki data dan bukti klinis ilmiah tetapi sudah dalam bentuk sediaan farmasi. Sedangkan produk fitofarmaka sudah teruji secara klinis sehingga produk fitofarmaka dapat menjadi bagian dari sistem pelayanan kesehatan. Untuk itu keajegan kualitas menjadi titik kritis untuk menjamin keajegan khasiat dan keamanannya. Namun hingga saat ini, masih menjadi tantangan besar untuk memastikan kualitas, keamanan, dan efektivitas dari produk fitofarmaka.
Produk fitofarmaka mengandung bahan aktif berupa ekstrak atau fraksi dari tanaman tentunya mengandung campuran berbagai kandungan senyawa yang kompleks. Penting untuk dipahami bahwa khasiat dan keamanan terapi dari produk fitofarmaka dihasilkan dari semua kandungan senyawanya, bukan hanya dari salah satu senyawa saja. Hal ini menyebabkan bahwa keajegan khasiat dan keamanannya harus dijamin dari bahan baku hingga produk akhir dan dari produksi batch ke batch.
Tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah autentikasi bahan baku, besarnya variabilitas kandungan senyawa dalam bahan baku dan kompleksnya kandungan kimia yang bertanggungjawab terhadap khasiat dan keamanan dari bahan baku yang digunakan. Autentikasi menjadi sangat penting karena seringkali terjadi kesalahan dalam bahan baku baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kesalahan yang tidak sengaja biasanya terjadi karena kecerobohan pekerja saat mengumpulkan tanaman liar sebagai bahan baku. Kesalahan yang tidak sengaja juga banyak disebabkan karena kesamaan morfologi bagian tumbuhan yang menyebabkan kesalahan identifikasi dari bahan baku. Kesalahan yang disengaja terjadi biasanya pada bahan baku yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi misalnya munculnya berbagai kasus pemalsuan bahan baku dengan mengganti bahan baku asli dengan bahan lain yang serupa tetapi kurang efektif dan lebih murah.
Selain itu kualitas bahan baku tanaman obat sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor intrinsik (genetik) dan ekstrinsik (lingkungan) selama pertumbuhan, proses budidaya, proses panen, proses pasca panen, proses transportasi, dan penyimpanan. Semua proses ini akan sangat mempengaruhi variabilitas, kemurnian dan stabilitas kandungan senyawa dalam bahan baku.
Kompleksitas kandungan senyawa dalam bahan baku menunjukkan adanya efek sinergi dari interaksi kandungan senyawa yang dapat terjadi secara alami melalui berbagai mekanisme antara lain adanya senyawa yang dapat meningkatkan kelarutan senyawa aktif, adanya senyawa yang dapat mencegah terjadinya metabolisme senyawa aktif, adanya senyawa yang dapat meningkatkan permeabilitas membran dan adanya interaksi yang dapat mengubah bentuk dan penyerapan senyawa bioaktif (untuk misalnya, dengan membentuk partikel skala nano yang terjadi secara alami yang dimediasi obat-obat-transporter).
Strategi dalam menjamin keajegan mutu dimulai dengan standardisasi. Standarisasi bukan hanya kegiatan analitik yang hanya menentukan identitas dan kadar senyawa aktif dalam produk fitofarmaka namun standardisasi adalah kegiatan yang menetapkan informasi lengkap dan kontrol yang diperlukan untuk menjamin konsistensi atau keajegan komposisi kandungan senyawa dalam produk fitofarmaka. Penetapan metode analisis yang akan digunakan harus memperhatikan fakta bahwa bahan baku tanaman mengandung komposisi senyawa penyusun yang kompleks. Selain itu juga harus memahami variabilitas dan inkonsistensi komposisi senyawa yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak dapat dihilangkan. Kondisi tersebut mempersulit standarisasi fitofarmaka, sehingga penerapan metode analitik untuk pengendalian mutu memerlukan inovasi dan teknik terkini.
Dalam produk fitofarmaka, aktivitas farmakologis yang dihasilkan berasal dari semua senyawa yang ada di dalamnya. Senyawa aktifnya belum bisa dipastikan. Selain itu, kandungan senyawanya sangat kompleks dan bervariasi sehingga sangat menantang untuk dikarakterisasi. Senyawa marker atau penanda diperlukan untuk merepresentasikan karakterisasi produk fitofarmaka. Penanda kimia merupakan pengendalian mutu berbasis senyawa.
Namun satu atau sekelompok senyawa penanda tidak dapat menggambarkan komposisi senyawa dalam produk fitofarmaka. Hal ini disebabkan adanya berbagai efek sinergis, berbagai senyawa yang terkandung membentuk satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan cara ini, kandungan multikomponen dalam produk fitofarmaka dianggap sebagai “bahan aktif”. Bahan aktif yang telah terbukti secara klinis inilah yang digunakan sebagai acuan standar untuk kontrol kualitas. Konsep ini dikenal sebagai “phytoequivalence” yang dikembangkan di Jerman yang digunakan untuk memastikan konsistensi komposisi kandungan senyawa dalam produk fitofarmaka dengan menggunakan profil metabolit atau sidik jari kimia. Penggunaan sidik jari kimia untuk tujuan kontrol kualitas adalah untuk menentukan persamaan dan/atau perbedaan dengan menggunakan metode kemometri. Tujuan ini dapat diterapkan mulai dari autentikasi bahan baku, pengendalian manufaktur dalam proses, dan pengendalian proses akhir produk jadi.
Penulis: Dr. apt. Idha Kusumawati, S.Si., M.Si.
Informasi detail riset ini dapat diakses pada artikel kami di:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/9781119682059.ch1