Pandemi COVID-19 berdampak sangat besar terhadap layanan kesehatan di seluruh dunia. Penyebaran virus yang sangat cepat, lonjakan kasus yang tinggi, yang kemudian diikuti dengan peningkatan pasien kritis dengan gagal napas yang membutuhkan perawatan Intensive Care Unit (ICU) dan ventilasi mekanis, telah mengakibatkan kekacauan yang luar biasa. Para peneliti dan dokter di seluruh dunia kemudian berusaha mencari terapi yang berpotensi dapat membantu pemulihan pasien COVID-19. Salah satu terapi yang diusulkan adalah pemberian plasma konvalesen yang berasal dari pasien yang pernah terinfeksi COVID-19 sebelumnya.
Berdasarkan dari berapa studi yang menyatakan adanya manfaat terapi plasma konvalesen pada kasus infeksi virus sebelum era COVID-19, maka Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia merekomendasikan penggunaan plasma konvalesen pada 15 Mei 2020. Sejak saat itu, plasma konvalesen telah digunakan secara luas di seluruh negeri pada pasien COVID-19, terutama pada mereka yang tertular COVID-19 dengan kondisi parah dan mengancam jiwa di ruangan ICU maupun kondisi yang lebih ringan. Walaupun beberapa studi dengan jumlah sampel yang besar telah menyatakan tidak adanya manfaat yang nyata dari penggunaan terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19, namun di negara-negara dengan sumber daya terbatas terapi ini masih digunakan karena penyediaannya yang relatif mudah dan keamanannya yang tinggi. Oleh sebab itu, kami melakukan studi yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi plasma konvalesen (TPK) terhadap mortalitas ICU, lama perawatan ICU (LoS), dan peningkatan kebutuhan oksigen.
Studi ini merupakan studi retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia. Data diperoleh dari laporan pagi harian pasien ICU COVID-19 dan rekam medis. Kriteria inklusi adalah pasien dengan hasil tes positif menggunakan RT-PCR untuk SARS-CoV-2 pada sampel yang diambil dari swab nasofaring dan orofaring, berusia 18 tahun atau lebih, laki-laki atau perempuan tidak hamil, dan menerima 300 ml terapi plasma konvalesen selama dua kali selama perawatan di ICU. Kelompok kontrol adalah semua pasien, yang dirawat di ICU COVID-19 kami selama masa studi, dan yang tidak menerima plasma pemulihan selama rawat inap.
Penelitian ini mencakup 179 pasien sakit kritis yang dirawat di ICU COVID-19 dari Mei hingga November 2020, dengan tingkat mortalitas mencapai 55,3% (n=99). Jumlah sampel kelompok kontrol yaitu 131 sampel dan perlakuan yaitu 48 sampel. Persentase pasien laki-laki lebih besar pada kedua kelompok. Usia rata-rata pasien pada kedua kelompok adalah sekitar 50 tahun (kelompok kontrol 51,2 ± 11,6 dan kelompok kasus 49,5 ± 11,4). Hampir setengah dari pasien adalah petugas kesehatan (dokter, perawat, dokter gigi, radiografer, dan transporter). Sebagian besar pasien mengalami gejala awal demam dan gejala pernapasan ringan (misalnya, sakit tenggorokan, batuk, hidung tersumbat dan pilek). Sekitar setengah dari pasien yang tidak mendapat TPK telah dilakukan intubasi saat masuk ICU, tetapi 78,1% pasien yang menerima TPK belum menggunakan ventilasi mekanis pada hari pertama di ICU COVID-19.
Peneliti melakukan analisis post-hoc terhadap lama rawat pasien di ICU dengan memisahkan mereka yang survive (hidup) dan mereka yang meninggal selama perawatan di ICU. Lama rawat di ICU pada kelompok perlakuan (TPK) yang secara bermakna lebih lama dibanding kelompok kontrol yang meninggal, dengan median length of stay (LoS) 11 hari (IQR=5) versus 7 hari (IQR=5) (U=434; p<0,001). Hasil yang sama juga terjadi pada kelompok pasien yang membaik dan dapat dipindah ke ruang perawatan biasa. Lama rawat di ICU secara bermakna lebih lama pada kelompok TPK dibanding kontrol, dengan rata-rata LoS 9 hari (IQR=4,5) versus 6 hari (IQR=7) (U=400; p=0,004).
Hari rata-rata pasien masuk ICU adalah delapan hari setelah onset, dan hampir setengah dari pasien masuk ke ICU kami dalam kondisi yang mengancam jiwa dan membutuhkan ventilasi mekanis. Luaran penelitian ini kemungkinan dapat dipengaruhi oleh timing pemberian plasma konvalesen yang kurang awal. Rata-rata hari pemberian TPK dalam penelitian kami adalah11 hari setelah onset. Menurut sebuah studi multisenter di AS, mortalitas hari ke-7 dan ke-30 pada pasien yang menerima TPK pada hari ke-3 setelah diagnosis COVID-19 ditegakkan secara signifikan lebih rendah dibanding dengan yang mendapat TPK pada hari ke-4 atau lebih.
Hal lain yang dapat mempengaruhi luaran adalah karena pasien yang diikutkan dalam penelitian ini severitasnya sangat tinggi karena RSUD Dr Soetomo merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di Jawa Timur. Karena tidak dilakukan secara double blind randomized control maka pasien dalam kelompok TPK pada umumnya juga dipilih yang prognosisnya lebih baik mengingat keterbatasan stok plasma konvalesen saat penelitian ini diambil. Variasi titer antibodi yang terkandung dalam plasma konvalesen pada penelitian mungkin juga bisa mempengaruhi efektifitas TPK.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa penggunaan TPK pada pasien COVID-19 kritis tidak menunjukkan menurunkan angka mortalitas dan kebutuhan oksigen. Selain itu, rata-rata hari perawatan di ICU pada kelompok yang diberikan TPK secara bermakna lebih lama dibanding kelompok kontrol. Oleh karena itu kebijakan penggunaan TPK pada pasien COVID-19 derajat berat-kritis perlu menjadi perhatian dari sisi analisis efektifitas pembiayaan (cost effectiveness).
Penulis: Bambang Pujo Semedi, dr., SpAn., KIC
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://www.hindawi.com/journals/ccrp/2022/1594342/
Semedi BP, Ramadhania NN, Tambunan BA, Bintoro SUY, Soedarsono S, Prakoeswa CRS. Prolonged ICU Stay in Severe and Critically-Ill COVID-19 Patients Who Received Convalescent Plasma Therapy. Crit Care Res Pract. 2022;2022.