Universitas Airlangga Official Website

Madu dapat Meningkatkan Fisiologi Reproduksi Betina akibat Stres Fisik

Stress pada ternak dapat menimbulkan beberapa gangguan kesehatan fisik dan berbagai gangguan mental dan psikosomatis. Sumber stres yang umum terjadi pada ternak berasal dari lingkungan dan juga manajemen pemeliharaan seperti suhu, perubahan cuaca dan iklim, intensitas cahaya, faktor pakan dan olah fisik yang berlebihan Olah fisik ternak berlebihan menyebabkan terganggunya homeostatis sistem endokrin pada ternak dan penurunan produktivitas ternak. Akibat perubahan lingkungan hidup, ternak cenderung mengalami kesehatan psikofisiologis yang buruk. Stres yang berulang dan berkepanjangan menyebabkan disregulasi hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), yang mengganggu homeostasis. Aktivasi sumbu HPA menyebabkan sekresi berbagai hormon stres termasuk glukokortikoid, faktor pelepas kortikotropin (CRF), dan kortisol. Selanjutnya, aktivitas HPA yang berlebihan dilaporkan berhubungan dengan aktivasi poros hipotalamus-hipofisis-ovarium yang tidak memadai, yang mengontrol pertumbuhan dan perkembangan folikel dan oosit ovarium.

Ternak yang mengalami stres melepaskan glukokortikoid sebagai respons terhadapnya. Glukokortikoid selama stres disintesis di korteks adrenal dengan rangsangan dari hormon adrenokortikotropik (ACTH) untuk merangsang glukoneogenesis. Tubuh merespons stres jangka pendek dan jangka panjang dengan cara berbeda yang mengacu pada pola yang dikenal sebagai sindrom adaptasi umum (GAS). Tahap awal GAS disebut reaksi alarm. Ini adalah stres jangka pendek yang dimediasi oleh hormon epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal. Mereka berfungsi mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik yang ekstrim. Setelah stres ini hilang, tubuh akan segera kembali normal. Namun, sekresi kortikosteroid yang berlebihan mempunyai efek negatif pada sistem reproduksi karena alokasi energi ke sistem organ lain.

Aktivasi reseptor glukokortikoid pada neuron gonadotropin-releasing hormone (GnRH) di hipotalamus menginduksi apoptosis sel saraf sehingga menyebabkan hipogonadisme akibat hilangnya pulsatilitas GnRH. Kematian sel saraf GnRH juga mempengaruhi sintesis dehydroepiandrosterone (DHEA) yang terjadi di mitokondria zona retikuler korteks adrenal yang berfungsi mensintesis estrogen akibat hilangnya stimulus gonadotropin. Terganggunya pelepasan GnRH menyebabkan terhambatnya hipotalamus – jalur sinyal sumbu hipofisis-gonad (HPG) dan mengurangi efisiensi reproduksi pada ternak.

Penggunaan bahan-bahan alami merupakan tren yang mulai muncul secara global di era globalisasi saat ini, baik dari sudut pandang manusia maupun hewan ternak. Bahan alami yang memberikan dampak positif terhadap sistem reproduksi adalah madu hutan. Penelitian yang dilakukan oleh Luqman (2022) menunjukkan bahwa kandungan antioksidan pada madu hutan juga memiliki kandungan senyawa fenolik dan flavonoid yang tinggi karena sifat madu yang multiflora dan dapat menurunkan kadar kortisol sebagai respons terhadap stres fisik. Penggunaan madu hutan sebagai bahan alami yang dapat menurunkan kadar kortikosteroid sebagai respon stres akibat induksi stres fisik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk folikulogenesis dan pembentukan korpus luteum sebagai parameter dalam ovulasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian madu hutan pada tikus (Rattus novergicus) yang dipapar stres fisik terhadap kadar kortikosteroid, folikulogenesis dan jumlah korpus luteum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya pemberian madu hutan pada tikus (Rattus novergicus) yang dipaparkan terhadap stres fisik terhadap kadar kortikosteroid, folikulogenesis, dan jumlah korpus luteum. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan 32 ekor tikus yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan; kontrol positif (C) diberi perlakuan stres fisik, perlakuan 1 (T1) diberi perlakuan stres fisik + madu 2 g/ekor/hari PO, perlakuan 2 (T2) diberi perlakuan stres fisik + madu 4 g/tikus/hari PO dan perlakuan 3 (T3) diberi perlakuan stres fisik + madu 6 g/tikus/hari PO. Semua perlakuan dilakukan selama 14 hari. Hasil penelitian menunjukkan T1 mempunyai kadar kortikosteroid paling rendah dibandingkan seluruh kelompok perlakuan dan kadar kortikosteroid kelompok ini berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan C dan T3. Profil folikulogenesis menunjukkan jumlah folikel primer sekunder, tersier, dan Graaf kelompok T1 berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok C, T2, dan T3. Dari segi jumlah korpus luteum menunjukkan T1 mempunyai jumlah yang paling banyak korpus luteum, dan jumlah korpus luteum pada kelompok ini berbeda nyata (p<0,05) dengan kelompok C, T2, dan T3. Dapat disimpulkan bahwa pemberian madu hutan dengan dosis 2g/tikus/hari dapat menurunkan kadar kortikosteroid, memperbaiki profil folikulogenesis, dan meningkatkan jumlah korpus luteum pada tikus yang terpapar stres fisik. Penggunaan madu hutan dapat menurunkan kadar kortikosteroid sebagai respon stres akibat induksi stres fisik yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi.

Penulis: Epy Muhammad Luqman

Link artikel: The Effect of Administering Forest Honey to Rats Exposed to Physical Stress on Corticosteroid Levels, Folliculogenesis and the Number of Corpus Luteum