UNAIR NEWS – Mengutak-atik gen untuk memerangi kuman yang resisten terhadap antibiotik dianggap sebagai ide yang luar biasa. Mengingat, kasus resistensi antibiotik dianggap sebagai permasalahan global. Gagasan itulah yang akhirnya mengantarkan mahasiswa berprestasi jenjang S1 Universitas Airlangga, Amal Arifi Hidayat, menyabet predikat ‘Best Speaker’ dalam seleksi Mahasiswa Berprestasi (mawapres) Nasional.
Kompetisi mawapres merupakan ajang tahunan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk mengadu 16 mawapres jenjang S-1 dari perguruan tinggi se-Indonesia. Pendaftaran peserta seleksi mawapres nasional dimulai diselenggarakan pada 25 Mei 2016, sedangkan malam penganugerahan dilangsungkan pada Selasa (16/8) di Hotel Sahid Rich, Jakarta.
Sebelum melaju ke babak nasional, ada banyak tahap yang harus dilalui setiap mawapres universitas. Setiap mawapres universitas diseleksi berdasarkan tingkat perguruan tinggi dan wilayah. Unsur yang diseleksi antara lain indeks prestasi kumulatif (20%), tulisan dan presentasi karya ilmiah (30%), prestasi yang diunggulkan (25%), dan kemampuan berbahasa Inggris (25%).
Setelah lolos mawapres tingkat wilayah, setiap finalis mawapres nasional kembali diuji oleh para juri. Bobot tiap unsur penilaian pun tak jauh berbeda. Bedanya, pada tingkat nasional, finalis mawapres diberi ujian kepribadian. Penetapan pemenang ditentukan berdasarkan nilai tertinggi dari setiap unsur penilaian.
Pada jenjang S-1, mawapres Universitas Indonesia berhasil menyabet gelar juara I. Disusul dengan mawapres asal Universitas Negeri Yogyakarta pada posisi juara II, dan mawapres Institut Pertanian Bogor pada posisi juara III.
Meski mawapres S-1 UNAIR tak meraih predikat juara, ia berhasil memboyong predikat ‘Best Presenter’ dalam kompetisi tahunan Dikti itu. Bagi Amal, yang terpenting baginya adalah menyebarkan ide-ide baik yang bisa bermanfaat bagi manusia.
Ide itu ia buktikan dengan mengusung gagasan mengenai bakteri zombie yang bisa melumpuhkan kuman yang resisten terhadap obat antibiotik.
Dalam presentasi pada Selasa (16/8), Amal berhasil memperoleh pujian dari para juri. “Ide yang saya bawakan ini sangat unik dan menarik. Suatu pemecahan masalah global yang besar. Mengutak-atik gen adalah salah satu teknologi yang luar biasa. Namun, jangan sampai kita menjadi ilmuwan yang takabur karena kekuatan Tuhan jauh lebih besar daripada teknologi kita,” tutur Amal ketika dihubungi.
Pada sesi presentasi, dewan juri memiliki kesempatan untuk memberikan tanggapan mengenai tema. Amal bercerita, dalam sesi tanya jawab, metode berpikir kritis dan logisnya diuji.
Apa saja tanggapan dewan juri? Dokter muda itu menuturkan, dewan juri bertanya tentang kebiasan buruk masyarakat yang bisa menyebabkan resistensi antibiotik, seperti minum antibiotik tanpa resep dokter atau bahkan tidak mengonsumsi sampai tuntas.
“Dari situ, saya menjelaskan mekanisme daaar mengapa hal-hal tersebut bisa menyebabkan resistensi, dan merekomendasikan langkah apa yang bisa diambil oleh pemegang kebijakan, dan apa yang bisa dilakukan oleh kita sebagai masyarakat untuk melawan kuman tersebut,” tegas Amal. (*)
Penulis: Defrina Sukma S.
Editor: Nuri Hermawan