Kekerasan seksual makin marak terjadi. Data menunjukkan bahwa jumlah kekerasan seksual mengalami peningkatan. Berbagai berita di media nasional juga menunjukkan makin banyaknya kasus kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual memaknai kekerasan seksual secara berbeda. Korban kekerasan seksual menyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan hal yang memprihatinkan. Korban merasa prihatin terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya yang mengalami nasib sama dengan dirinya. Korban yang memiliki perasaan prihatin cenderung menutup diri, merasa bersalah, dan sulit berdamai dengan keadaan. Perasaan ini diakibatkan oleh kondisi psikologis yang kacau dan pikiran yang sulit menerima keadaan. Di samping itu, korban kekerasan seksual sudah pasti merasa khawatir akan dirinya. Bagi korban kekerasan seksual perempuan, umumnya mereka khawatir akan masa depannya. Ketakutan tidak diterima sebagai pasangan ketika menikah adalah hal yang sering kali menjadi ketakutan perempuan.
Perasaan malu dan rendah diri yang dialami oleh korban kekerasan seksual merupakan hal yang umum terjadi. Perasaan menyesal turut menghantui korban akibat tindakan agresif yang dilakukan pelaku tanpa dapat mereka antisipasi sebelumnya. Studi Indrayana (2017) mengungkapkan bahwa kekerasan seksual memiliki arti sebagai sebuah penyerangan yang bersifat seksual baik terjadi persetubuhan ataupun tidak dan tanpa memedulikan hubungan korban dengan pelaku. Penyerangan yang dilakukan pelaku sudah menimbulkan trauma dan kemarahan bagi korban. Akan tetapi, ada banyak korban yang tidak dapat mempertahankan diri karena berbagai situasi dan rasa kalut akibat perasaan tertekan.
Sementara itu, studi-studi terdahulu menyebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi akibat perempuan direduksi sebagai tubuh dan objek seksual para laki-laki (Rahma et al., 2020; Susanti & Pebriyenni, 2021; Tuasela & Parihala, 2017). Selama ini memang korban perempuan lebih banyak yang speak up dibandingkan laki-laki. Selain itu, potensi kekerasan seksual memang lebih banyak menyerang perempuan daripada laki-laki tak lain karena faktor relasi kuasa dan budaya patriarki yang mengakar kuat dalam kelompok masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa korban kekerasan seksual mengalami trauma setelah terjadinya kekerasan. Pikiran traumatis ini timbul dan menjadi bayang-bayang bagi korban. Kekerasan seksual biasanya tidak hanya terjadi aktivitas seksual layaknya penetrasi biasa, biasanya juga diikuti oleh ancaman, teror, serta kekerasan fisik agar korban tidak berdaya. Hal inilah yang menimbulkan kondisi trauma bagi korban. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi trauma ini akan menjadi masalah yang berkepanjangan dan sangat merugikan korban. Dampak dari traumatis ini akan menjadi dampak jangka panjang dan semakin menyakiti korban. Di sisi lain, korban mengungkapkan kekerasan seksual merupakan sebuah pemaksaan. Tindakan disebut sebagai kekerasan seksual adalah apabila tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Kekerasan seksual baik verbal maupun fisik terjadi karena pelaku kekerasan seksual selalu memaksa. Dalam hal perkosaan, korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual bahkan dibuat tidak berdaya. Ada kalanya pelaku perkosaan menggunakan cara dengan menghilangkan kesadaran korban.
Bagi korban kekerasan seksual, aktivitas seksual bisa menjadi aktivitas yang menjijikkan dan paling buruk. Ini tak lain akibat dari perasaan traumatis yang terus melekat di ingatan korban. Makna yang dibangun korban tersebut tak lain adalah dampak dari kekerasan seksual yang dialaminya. Perasaan jijik tersebut datang karena aktivitas seksual yang ia lakukan bukan berasal dari keinginannya. Selain itu, rasa marah kepada pelaku juga menimbulkan perasaan jijik, merasa buruk, dan kotor. Individu yang dilecehkan secara seksual secara serampangan memiliki penilaian negatif akan hubungan seksual.
Dalam masyarakat patriarki, laki-laki memiliki simbol budaya yang kuat sebagai sosok maskulin dan perempuan sebagai sosok feminin. Wacana sosial inilah yang menyudutkan perempuan sehingga perempuan rentan mengalami tindak kejahatan seksual. Selain itu, tidak ada yang dapat menjamin bahwa ruang manapun dapat terbebas dari potensi kekerasan seksual. Bahkan lingkungan yang eksklusif pun seperti lembaga pendidikan tidak terlepas dari potensi adanya tindak kekerasan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi siapapun untuk tidak terlibat menjadi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu, perlu upaya bersama untuk menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, mulai dari keluarga, komunitas, masyarakat dan negara.
Penulis: Siti Mas’udah
Link jurnal: https://society.fisip.ubb.ac.id/index.php/society/article/view/384