Universitas Airlangga Official Website

Manajemen Limfoma pada Kehamilan

Foto by Alodokterr

Penyakit keganasan pada masa kehamilan dapat menjadi suatu dilema tersendiri karena diperlukan pertimbangan yang matang mengenai resiko dan manfaat terapi baik bagi ibu maupun janin. Beberapa komplikasi medis harus diperhatikan dalam membuat pertimbangan. Keganasan darah (hematologi), termasuk didalamnya limfoma, merupakan keganasan tersering nomor dua yang dapat terjadi pada masa kehamilan (limfoma Hodgkin’s 6% dan limfoma non-Hodgkin’s 5%) dengan insidensi sebesar 10-60 kasus per 100.000 ibu hamil.

Pada kasus yang kami laporkan, seorang wanita usia 20 tahun yang saat itu sedang hamil trimester kedua (usia kehamilan 19 minggu), datang dengan keluhan sesak yang memburuk sejak 1 bulan lalu, disertai dengan muka dan kedua lengan yang membengkak. Sebelumnya, pasien mengeluhkan benjolan pada leher sisi kanan dan dada yang bertambah besar sejak 4 bulan. Pemeriksaan imejing menggunakan CT scan dada menunjukkan adanya tumor pada mediastinum dengan ukuran 10x11x14 cm. Biopsi dan pewarnaan dilakukan pada benjolan, dan disimpulkan pasien menderita limfoma non-Hodgkin’s dengan komplikasi sindroma vena cava superior (VCSS).

Karena VCSS merupakan kegawatan di bidang hemato-onkologi, maka pasien segera ditangani dengan terapi steroid intravena dengan menggunakan dexamethasone dengan terapi oksigen dan terapi suportif lainnya. Kondisi pasien mengalami perbaikan selama perawatan. Diskusi multidisplin oleh tim Penyakit Dalam, Obstetri Ginekologi, Anestesi, dan Forensik Medikolegal dilakukan untuk menentukan segi keamanan dan keuntungan dari pemberian kemoterapi pada pasien yang tengah hamil trimester dua. Diputuskan pasien dilakukan pemberian kemoterapi mengingat keuntungan yang lebih besar daripada resiko nya pada pasien.

Pasien dilakukan pemberian kemoterapi dengan regimen RCHOP (rituximab, cyclophosphamide, doxorubicin, vincristin, dan prednison) sebanyak lima kali selama kehamilan. Selama pemberian kemoterapi didapatkan perbaikan yang dramatis dari keluhan sesak, bengkak pada wajah, serta ukuran dari benjolan di leher. Namun, evaluasi sebelum kemoterapi berikutnya menunjukkan adanya penurunan nadi janin, sehingga kemoterapi ditunda, dan karena usia kehamilan dinilai sudah viabel pada saat itu (36 minggu), persalinan dilakukan untuk mencegah komplikasi pada janin. Janin lahir dengan berat badan lahir 2300 gram dan dalam keadaan sehat.

Manajemen limfoma pada kehamilan harus merupakan suatu keputusan multidisiplin meliputi obstetricians, radiologis, internis, dan onkologis. Sebagian besar terapi berpusat pada kemoterapi, mengingat tingginya sensitivitas terhadap kemoterapi. Operasi hanya dilakukan pada pengambilan sampel diagnostik dan beberapa kasus khusus seperti limfoma pada jaringan non-limfoid. Radioterapi digunakan pada beberapa kasus seperti VCSS, tetapi pada kehamilan jarang digunakan mengingat resikonya pada janin yang besar.

Sebelum memulai kemoterapi pada pasien hamil, perlu diperhatikan beberapa hal: apakah pasien perlu diterapi; kapan waktu terapi terbaik; regimen kemoterapi yang dipilih; efek samping dari kemoterapi; serta prognosis penyakit pada pasien. Perlu tidaknya terapi dan waktu dimulainya terapi sangat bergantung pada tingkat keagresifan tumor dan usia kehamilan pasien. Pemilihan kemoterapi pada kehamilan diluar timester pertama sebenarnya serupa dengan pasien yang tidak hamil. Ibu hamil harus diberikan edukasi mengenai gangguan fertilitas dan pilihan menyusui sebelum pemberian kemoterapi. Walaupun regimen pada pasien kasus ini serupa dengan pasien tidak hamil, tetapi efek samping potensial pada ibu, janin, maupun kehamilan, harus diperhatikan betul.

Kelas anthracycline (doxorubicin pada kasus ini) mempunyai toksisitas pada struktur DNA, sehingga dapat memberikan konsekuensi baik bagi sel kanker maupun sel janin. Akan tetapi, berat molekulnya yang besar membuat konsentrasi senyawa ini rendah di janin. Agen alkylating (pada kasus ini cyclophosphamide) dapat memberikan efek samping mielosupresi, kerusakan ovarium, dan gangguan siklus menstruasi. Pada janin dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang dan gangguan darah. Sangat sedikit ditemukan gangguan jantung, gangguan tumbuh ginjal, dan gangguan darah pada pemberian vincristine. Sedangkan pemberian rituximab pada pasien limfoma yang hamil dinilai aman pada trimester kedua dan ketiga.

Pada pasien ini penggunaan kemoterapi dinilai lebih banyak memberikan manfaat daripada resiko. Bagi ibu, kemajuan efek terapi ditemukan melalui gejala sesak dan ukuran tumor yang berkurang drastis. Bagi kehamilan tidak didapatkan efek samping signifikan. Sedangkan pada janin, walaupun ditemukan denyut jantung yang rendah setelah penggunaan kelima, tetapi membaik setelah persalinan.

Sebagai kesimpulan, melakukan terapi pada pasien hamil dengan keganasan, dalam hal ini limfoma, tidaklah mudah. Manfaat dan kerugian harus benar-benar ditimbang secara multidisplin tanpa menghilangkan otonomi pasien. Beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya indikasi dan waktu memulai terapi, rejimen terapi, efek samping yang mungkin timbul, serta prognosis penyakit.

Penulis: Prof. Dr. Siprianus Ugroseno Yudho Bintoro, dr., Sp.PD, K-HOM, FINASIM

Informasi detail dari laporan ini dapat dilihat pada tulisan kami di :

https://www.balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/view/4119

Musirroh, S. and Bintoro, S.U.Y., 2023. Non-Hodgkin’s lymphoma treatment in early pregnancy: dilemmas between risks and benefits. Bali Medical Journal12(1), pp.893-898.

https://doi.org/10.15562/bmj.v12i1.4119