Universitas Airlangga Official Website

Masalah Psikososial Remaja Pasca Bencana Alam di Palu Sulawesi Tengah

Foto oleh Power of Positivity

Bencana alam di Palu Sulawesi tengah pada 28 September 2018 merupakan salah satu bencana alam terbesar yang terjadi di Indonesia. Pada peristiwa tersebut terdapat tiga jenis bencana yang terjadi secara gradual dalam waktu berdekatan, yakni gempa bumi 7,4 skala richter yang diikuti dengan gelombang tsunami dan likuifaksi. Kerusakan akibat gempa tergolong luar biasa dengan korban jiwa termasuk korban hilang berjumlah 4.402, yang berasal dari 4 kabupaten, yakni Palu, Donggala, Parigi Moutong dan Sigi.  Meskipun wilayah yang terdampak berangsur pulih pada 22 hari pasca bencana dimana perekonomian dan sektor pendidikan berjalan kembali, namun isu psikososial terutama pada kelompok remaja masih tampak hingga saat ini.

Bagi remaja, pengalaman bencana tidak hanya menakutkan, namun setelah berlalu dapat memunculkan problem emosional dan stres yang cukup serius. Mereka terutama mengalami kesedihan mendalam karena kehilangan orang yang dicintai. Banyak studi terdahulu menjelaskan bahwa remaja merupakan kelompok yang rentan mengembangkan gejala stres pasca trauma setelah bencana. Trauma yang dialami remaja terkait dengan pengalaman langsung pada situasi bencana. Remaja penyintas di Palu Sulawesi menceritakan saat gempa terjadi mereka sedang beraktivitas di tempatnya masing-masing dan kemudian berlarian tanpa tahu arah. Beberapa penyintas sempat terbawa arus lumpur yang tiba-tiba muncul dari dalam tanah dan menenggelamkan rumah mereka. Begitu pula keterpisahan dengan anggota keluarga lain, merupakan situasi yang sangat menakutkan dan hingga kini masih tersimpan dalam memori mereka.

Setelah bencana berlalu, kecemasan penyintas tidak lantas hilang. Penyintas melaporkan adanya kecemasan yang bersumber dari pemikiran sewaktu-waktu gempa dan tsunami yang menghabiskan semua milik mereka akan teralami kembali. Pada 18 bulan setelah bencana terjadi, kecemasan masih tetap ada, meski tidak sampai mengalami depresi.  Penyintas sama sekali tidak memperlihatkan gejala depresi dari sejak awal terjadinya bencana. Sebagian besar penyintas memiliki kerentanan emosional dalam menghayati pengalaman bencana, namun respon emosional penyintas sangat bervariasi tergantung pada keadaan seperti: (1) tingkat paparan peristiwa bencana; (2) jumlah dukungan selama bencana, dan; (3) jumlah kerugian pribadi dan gangguan sosial yang dialami. Berdasarkan catatan peneliti, semua penyintas melaporkan bahwa guncangan bencana besar yang merugikan ini baru pertama kali mereka alami. Bahkan penyintas tidak pernah mengalami kejadian-kejadian traumatis selama hidup mereka.  Oleh sebab itu penyintas relatif mampu melalui kondisi tersebut secara adaptif karena tidak terdapat akumulasi trauma. Sebagai catatan, pengaruh paparan trauma sebelumnya dan paparan bencana alam sama-sama layak dianalisis dan diperhitungkan untuk menentukan gejala psikologis yang muncul akibat bencana.

Trauma yang dialami remaja terutama terkait dengan rasa kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Grief, atau rasa sedih yang teramat dalam karena kehilangan merupakan tantangan adaptasi bagi remaja. Penelitian ini melaporkan semua penyintas tidak kehilangan orangtua, namun mereka kehilangan adik dan kakak, kerabat, teman sekolah dan guru mereka. Kesedihan traumatis akibat kehilangan orang yang dicintai dalam peristiwa traumatis seperti bencana, dikonseptualisasikan sebagai gangguan gejala trauma terkait kematian. Hingga saat ini penyintas masih merasakan dampak kehilangan dan menampilkan reaksi emosional seperti sedih saat mengingat kembali orang-orang yang telah pergi dari kehidupan mereka. Dalam kondisi tersebut, keluarga sangat membantu mereka beradaptasi dengan kehilangan, salah satunya dengan cara membawa anak-anak mereka pergi dari kota tersebut dan menetap di kota lain yang secara geografis lebih aman dari ancaman bencana yang serupa. Dukungan keluarga membuat penyintas dapat memberikan respon adaptif terhadap situasi pasca bencana, sehingga dapat menyelamatkan mereka dari gangguan psikologis lebih lanjut.

Sistem dukungan yang bersumber dari orangtua hadir melalui mekanisme identifikasi dan mengenali kerentanan emosional remaja dan memberi mereka pengetahuan dan keterampilan praktis untuk pulih. Orangtua membantu pemulihan penyintas dengan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman, meski mereka sendiri melalui masa sulit pasca bencana. Orangtua dapat mengusahakan beberapa hal pasca bencana berikut : (1)  membangun kembali keamanan dan melanjutkan rutinitas normal; (2) berupaya untuk menyesuaikan dan mencegah berkembangnya gejala psikologis pada anak; (3) bantuan koping, melakukan upaya aktif membantu anak mengatasi gejala psikologisnya. Remaja harus dipersatukan kembali dengan orangtua, keluarga atau pengasuh utama lainnya, untuk menerima perlindungan dari trauma bencana dan menjaga mereka dari penelantaran juga pelecehan. Kerentanan penyintas dalam penelitian ini tidak terlalu tinggi jika dikaitkan dengan kondisi kehilangan kedua orangtua. Penyintas pada akhirnya dapat berkumpul kembali bersama orangtua mereka meski sempat terpisah karena saat kejadian mereka berada di tempat yang berbeda.

Lebih lanjut penyintas mengungkapkan peran sekolah dalam memberikan edukasi bencana setelah bencana terjadi. Hal tersebut membuat penyintas menjadi lebih tenang dan mengetahui apa yang harus dilakukan jika bencana datang lagi. Edukasi dari pihak sekolah memberikan kontribusi pada penyesuaian penyintas terhadap kondisi saat ini. Khususnya bagi remaja, intervensi psikososial berbasis sekolah memegang peranan penting bagi pemulihan pasca bencana. Fungsi sekolah pasca bencana adalah memberikan dukungan baik untuk pemulihan psikologis atau praktik lain yang membawa pada manfaat bagi remaja. Sebagai catatan, dukungan yang merupakan sumber informal dan formal, seperti organisasi resmi, tenaga kesehatan mental, kerabat dan teman, pemuka agama, dan guru sekolah, dapat memberikan manfaat dukungan psikologis bagi penyintas remaja.

Penulis: Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog. ; Dr. Rahmatsyam Lakoro, S.Sn., M.T.

Artikel Lengkap : http://journal.uad.ac.id/index.php/Psychology/article/view/23474