“History is not luxury it is your nation’s DNA” – seingat saya itu adalah sepenggal jawaban sejarawan sekaligus Indonesianist Prof Dr Peter Carey (Adjunct Professor Departemen Sejarah FIB UI) ketika menjawab pertanyaan Gita Wiryawan – Mantan Menteri Perdagangan RI di acara podcast-nya— kenapa generasi muda sekarang tidak suka membaca buku terutama soal sejarah. Peter Carey juga mendorong agar bangsa Indonesia ini menulis sejarahnya dari akar rumput bukan dari perspektif penjajah kolonial.
Teman saya seorang wanita Mesir dosen di Universitas Alexandria Mesir menulis di akun di akun Facebook-nya “History Is Not the Study of the Past, but It Is the Study of How the Present is Produced”, yang artinya “Sejarah Bukanlah Studi tentang Masa Lalu, Tapi Studi tentang Bagaimana Masa Sekarang Dibentuk”. Kalimat itu menggambarkan betapa pentingnya sejarah bagi suatu bangsa itu.
Peter Carey adalah seorang Inggris yang selama 40 tahun melakukan penelitian tentang perang Jawa Pangeran Diponegoro tahun 1825-1830. Ia mengakui ketertarikannya tentang Indonesia utamanya Jawa dan nampak sangat paham tentang sejarah Jawa masa kolonial Belanda maupun di waktu Inggris datang menjajah Nusantara selama lima tahun di bawah gubernur Thomas Raffles. Dia menceritakan pengalamannya ketika naik kapal laut Djakarta Lyod dari kota New York Amerika Serikat ke Indonesia tahun 1970-an di mana dia sudah merasakan kebhinekaan Indonesia atau miniature Indonesia di kapal itu karena kapten maupun anak buah kapal berasal dari berbagai suku di Indonesia. Dari Jakarta dia ke Yogyakarta naik Kereta Api dan tinggal di Malioboro di mana dia bertemu temannya orang Inggris yang mengajak nonton “Wayang Wong” atau wayang orang di daerah Tegalrejo Yogyakarta. Begitu tahu nama daerah itu seketika ada ikatan batin pada dirinya karena Tegalrejo itulah di mana tokoh pujaannya yaitu Pangeran Diponegoro pernah tinggal.
Carey lahir dari pengusaha Inggris Thomas Brian Carey dan istrinya Wendy di Yangon, Birma (kini Myanmar), pada 30 April 1948. Pada usia tujuh tahun, ia dan keluarganya berpindah ke Britania Raya. Ketika bersekolah di sana, Carey mendapatkan pengetahuan dasar tentang Pangeran Jawa, Diponegoro, yang memimpin sebuah perang melawan pasukan kolonial Belanda di Hindia Belanda pada 1820-an. Ia kemudian menyatakan kekagumannya terhadap pangeran tersebut karena kedekatannya dengan wong cilik meskipun ia berlatar belakang bangsawan.
Bagi Peter Carey, Pangeran Diponegoro itu adalah tokoh dunia, seorang bangsawan keturunan Raja Jawa – tapi tidak mau diangkat menjadi pewaris tahta dan memiliki karakter yang mulia karena tidak ingin menunjukkan bahwa dia bangsawan. Sebab ia mau hidup dengan wong cilik dan tinggal di Tegalrejo di sebuah padepokan yang sepi. Ada kolam beriisi ikan dan penyu dan ia semedi di situ mendekat alam dan menekuni ilmu tasawuf. Pak Peter Carey juga menjelaskan bahwa Pangeran Diponegoro disamping sebagai bangsawan, dia adalah panglima perang, dan seorang ulama. Bahkan ketika dalam pengasingannya di Makassar Sulawesi Selatan dia menjadi guru tasawuf serta menulis buku “Babad Diponegoro” yang diwariskan kepada bangsa ini. Buku itu dikenal di Inggris maupun Belanda.
Ketika ditanya Pak Gita Wirjawan kenapa Pangeran Diponegoro turun gunung melawan penjajah Belanda, Pak Peter menerangkan bahwa sebagai orang Jawa dia merasa terhina oleh Belanda yang mendatangkan orang-orang Cina dari negerinya ke Jawa untuk ditugasi menarik pajak rakyat kecil di desa-desa. Menurutnya baik penjajah Belanda maupun orang-orang Cina itu tidak mengerti bahasa Jawa dan memahami budaya Jawa yang penuh kesantunan yang luhur. Pajak-pajak yang ditarik dari keringat rakyat itu dibawa ke Belanda untuk membangun kerajaan Belanda dan membayar hutang negara.
Karya pentingnya Pak Peter ini berfokus pada sejarah Diponegoro, periode Inggris di Jawa (1811–1816), dan Perang Jawa (1825–1830) yang telah ia terbitkan secara ekstensif. Karya biografinya tentang Diponegoro, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855, diluncurkan pada 2007 oleh KITLV Press.
Saya mencoba “urun rembug” pada teman-teman di Fakultas Ilmu Budaya UNAIR untuk bisa mengundang tokoh seperti Pak Peter ini (atau Indonesioniest lainnya), berdikusi tentang sejarah Indonesia agar para mahasiswa generasi muda memahami sejarah bangsanya sendiri, memahami bahwa Indonesia ini memiliki aset sejarah yang gemilang dan sudah mendunia. Tapi maaf mungkin saya miskin info sebab FIB UNAIR pernah mengundang sejarawan seperti Pak Peter ke UNAIR.