Globalisasi telah memberikan wajah baru dalam kehidupan manusia di era sekarang berupa kemudahan dalam berbagai hal. Dengan globalisasi, dunia tidak lagi terasa seluas dan sejauh ukuran-ukuran geografis yang kita ketahui dari peta. Globalisasi menyediakan “miniatur dunia” sehingga seakan-akan dunia ada dalam genggaman setiap individu manusia. Kita bisa dengan mudah mengetahui peristiwa apapun di belahan dunia manapun hanya dengan ketikan jari melalui internet.
Namun tunggu dulu, disini selain kemudahan, tentu ada tantangan sebagai “bayarannya”. Sepertinya cara kerja banyak hal di dunia ini tidak lepas dari dua sisi semacam ini, kekurangan-kelebihan atau positif-negatif. Ada keuntungan yang didapat, ada pula risiko yang harus ditanggung. Dengan dibentangnya dunia dalam telapak tangan masing-masing individu manusia, ada satu tantangan besar yang menghinggapi setiap bangsa dalam era globalisasi, yaitu adanya globalisasi budaya.
Dalam beberapa tahun terakhir, globalisasi budaya semakin menguat dengan adanya media sosial yang semakin banyak digandrungi oleh berbagai macam kalangan, khususnya kaum muda. Maka, yang terjadi adalah fenomena interaksi dan pertukaran budaya secara intens dan sebebas-bebasnya, tanpa ada sekat yang menghalangi. Semua orang dengan mudah mengonsumsi budaya lain melalui media sosial. Sebagai contoh, tayangan yang muncul dalam timeline media sosial yang kita gunakan sehari-hari kerap kali berasal dari budaya asing, biasanya dari budaya Barat.
Pada faktanya, secara tidak sadar kita sudah banyak mengonsumsi budaya asing dalam kehidupan kita sehari-hari, baik dalam bahasa, fashion berpakaian, gaya hidup maupun aspek budaya lainnya. Di media sosial, kita dengan mudah menemui fenomena kaum muda Generasi Z yang suka menggunakan bahasa campuran Indonesia dan Inggris. Fenomena ini menjadi salah satu bukti kuatnya pengaruh budaya asing dalam budaya kita, terutama budaya Barat. Bagi mereka, gaya berbahasa tersebut menjadi salah satu role model kaum muda keren di era sekarang. Rasa-rasanya kalau tidak bisa berinteraksi di media sosial dengan bahasa campuran seperti itu tidak keren dan ketinggalan zaman.
Hegemoni Western Culture
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, fakta munculnya budaya baru seperti penggunaan bahasa campuran Indonesia dan Inggris sebagai representasi ideal kaum muda. Hal itu merupakan bukti bahwa pengaruh budaya Barat memang kuat dan mendominasi, terutama melalui media sosial.
Western culture, secara singkat mencakup segala komponen budaya yang khas dan intrinsik berasal dari Barat. Komponen budaya ini mencakup bahasa, sistem nilai, gaya hidup, gaya berpakaian, adat istiadat dan lain sebagainya. Media menjadi salah satu faktor yang paling berperan menyukseskan “misi” ini. Laju perkembangan budaya kerap kali ditentukan oleh masyarakat superior (dominan), yang kemudian banyak menentukan orientasi budaya yang berkembang di ruang publik. Budaya masyarakat superior kemudian menjadi budaya normal, dan dengan sendirinyamenyingkirkan secara perlahan budaya yang kalah (tidak dominan).
Media dalam hal ini menjadi sarana untuk secara terus menerus menguatkan dan mempertahankan budaya status quo, budaya dominan. Dalam konteks media sosial secara global, budaya Baratlah yang menjadi kekuatan dominan. Apa yang mereka produksi dan sebarkan melalui media tidak jarang adalah representasi mereka terkait budaya mereka.
Representasi ideologis kelompok dominan ini diproduksi secara terus menerus melalui media, sehingga secara tidak sadar perlahan menghegemoni kesadaran masyarakat media sosial. Sejauh yang saya amati, kaum muda di Indonesia lebih menyukai konten media sosial yang sedang tren, instan, kekinian dan dianggap keren. Tidak peduli apakah konten tersebut mempunyai nilai positif atau tidak. Selagi hal itu adalah trennya, maka secara suka rela mereka akan selalu update untuk terus mengikuti.
Meneguhkan Nalar Kritis Sebagai Solusi
Secara umum, pola pengaruh budaya Barat yang berkonotasi negatif di kalangan kaum muda melalui media sosial berupa pola pengidealan budaya tersebut sebagai simbol kemajuan, kekinian dan modern, sembari menganggap budaya lokal sebagai yang kuno, tertinggal dan tidak keren. Stereotip semacam ini kemudian secara kolektif menjadi pola bernalar oleh banyak kaum muda karena telah ternormalisasi dalam ruang media sosial.
Fenomena seperti ini bisa saya bahasakan sebagai salah satu bentuk fenomena otak monokrom. Istilah otak atau nalar monokrom merupakan bentuk “transformasi pola” pengalaman yang terjadi pada penderita buta warna ke dalam pengalaman bernalar. Maka, nalar monokrom adalah proses identifikasi peristiwa atau fenomena melalui nalar, namun kompartemen kategori konsep dalam otak yang digunakan untuk mengidentifikasi dalam bernalar sangatlah terbatas.
Dengan begitu, Hasil pengamatan dengan nalar monokrom menjadi kurang tepat. Dalam menyikapi globalisasi budaya di media sosial, nalar monokrom cenderung mengidentifikasinya secara hitam putih saja. Menjamurnya nalar monokrom ini akan menghasilkan pola penerimaan budaya yang sama di media sosial, sementara produksi dan penyebaran budaya terus berlanjut. Salah satu solusinya adalah meneguhkan nalar kritis dalam berbudaya, khususnya di media sosial
Nalar kritis berbudaya yang dimaksud adalah kemampuan untuk menimbang setiap budaya yang sedang menjadi tren, baik di media sosial maupun dunia nyata. Memopulerkan budaya bernalar kritis secara kreatif akan menghasilkan sikap lebih bijaksana dibandingkan kategori hitam putih. Nalar kritis berbudaya harus terus dibudayakan, khususnya bagi kaum muda, karena masa depan bangsa ada di tangan mereka. Dengan langkah ini, bangsa Indonesia dapat melangkah menuju bangsa berbudaya maju. Menjadikan slogan “berpikir global, bertindak lokal” bukan sekedar formalitas belaka.
Penulis: Abdul Hayyi (Mahasiswa S1 Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik)