Hukum pidana mempunyai fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum hukum pidana sebagai salah satu bagian dari hukum adalah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat atau menyelenggarakan pemerintahan dalam masyarakat. Sementara fungsi khusus dari hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak melanggaranya. (rechtsguterschutz), dengan sanksi berupa sanksi pidana yang sifatnya lebih tajam apabila dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dalam perkembangannya, salah satu pembaruan dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan untuk perbaikan dan pemulihan situasi setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal sebagai keadilan restoratif yang berbeda dengan keadilan retributif. menekankan keadilan dalam pembalasan) dan keadilan restitutif. (menekankan keadilan pada kompensasi). Jika dilihat dari perkembangan hukum pidana dan sifat pemidanaan modern, telah diperkenalkan dan dikembangkan apa yang disebut dengan pendekatan Hubungan Pelaku-Korban. Pendekatan baru yang menggantikan pendekatan aksi atau aktor atau “daad-dader straftecht“
Keadilan restoratif adalah filosofi, proses, ide, teori dan intervensi yang menekankan pada perbaikan kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal. Proses ini sangat kontras dengan cara standar menangani kejahatan yang dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan terhadap negara. Keadilan restoratif ditemukan pijakannya dalam falsafah dasar sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah tentang prioritas dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian dengan memediasi korban pelanggar adalah untuk memanusiakan sistem peradilan, keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan nyata korban, pelaku dan masyarakat.
Salah satu bentuk kejahatan yang dapat dilakukan restorative justice adalah ujaran kebencian melalui elektronik media. Salah satu bentuk penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif dapat dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hal ini berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 (SE Kapolri 6/2015) tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech), ujaran kebencian dapat merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lain di luar KUHP, yang berupa antara lain: hinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Ujaran kebencian dapat memiliki efek merendahkan martabat manusia, dan dapat mendorong kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan, hilangnya nyawa dan atau konflik sosial yang meluas.
SE 6/2015 mengatur tentang penanganan tindak pidana ujaran kebencian yaitu melalui upaya preventif dan represif. Tindakan preventif terhadap tindak ujaran kebencian antara lain, setiap anggota Polri memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bentuk-bentuk ujaran kebencian yang muncul di masyarakat, mengutamakan fungsi intelijen untuk mengetahui kondisi riil di daerah rawan konflik, melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait ujaran kebencian dan dampak negatif yang akan terjadi, serta mempertemukan pihak-pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian untuk mencari solusi damai. Namun Pasal 5 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Restoratif Justice (Perpol 8/2021) menetapkan bahwa syarat-syarat penyelesaian suatu tindak pidana secara restoratif adalah sebagai berikut: “a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; b. tidak mengakibatkan konflik sosial; c. tidak berpotensi memecah belah bangsa; d. bukan radikalisme dan separatisme; e. bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan; dan f. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.” Berdasarkan Pasal 5 Perpol 8/2021 tersebut maka tindak pidana ujaran kebencian melalui media elektronik tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif, karena potensi sosial konflik, perpecahan bangsa, radikalisme, dan/atau separatisme dari penyebaran ujaran kebencian tersebut.
Penegakan hukum ujaran kebencian yang menerapkan prinsip restorative justice ditingkatkan dengan Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 (SE Kapolri 8/2018) tentang Permohonan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dalam SE Kapolri 8/2018 dijelaskan bahwa prinsip restorative justice tidak dapat diartikan sebagai metode penyelesaian kasus secara damai, tetapi lebih secara luas dalam memenuhi rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya-upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyidik/penyidik sebagai mediator. Sedangkan penyelesaian perkara, salah satunya berupa perjanjian damai dan pencabutan hak menuntut dari korban, perlu meminta penetapan hakim melalui penuntut umum untuk menggugurkan kewenangan tuntutan dari korban.
Banyak kejahatan ujaran kebencian yang tidak dilakukan melalui keadilan restoratif, misalnya dalam kasus Ahmad Dhani. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 275/Pid.Sus/2019/PN Sby, Ahmad Dhani dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ujaran kebencian karena dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan membuat informasi elektronik yang dapat diakses dan dokumen elektronik yang berisi konten penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga Pengadilan Negeri Surabaya memvonisnya 1 (satu) tahun penjara. Artikel ini akan menalisis apakah tindak pidana ujaran kebencian melalui media elektronik dapat dilakukan upaya restorative justice?
Penulis: Bagus Oktafian Abrianto, S.H., M.H.
Link Jurnal: https://ijair.id/index.php/ijair/article/view/388