Tragedi di Puncak Cartensz yang menimpa beberapa pendaki pada bulan Maret lalu menjadi pengingat bagi kita bahwa mendaki gunung bukan hanya soal fisik yang kuat atau perlengkapan mahal. Dua pendaki yang meninggal dunia akibat hipotermia dan Acute Mountain Sickness (AMS) saat mendaki puncak gunung itu menegaskan bahwa pemahaman akan risiko kesehatan di ketinggian masih minim di kalangan pendaki Indonesia. Di sinilah peran travel medicine menjadi sangat penting. Travel medicine adalah cabang ilmu medis yang fokus pada pencegahan dan penanganan risiko kesehatan saat bepergian. Termasuk daerah ekstrem seperti pegunungan bersalju.
Setiap gunung memiliki karakteristik yang berbeda dan tantangan yang unik. Mulai dari ketinggian, kecuraman lereng gunung, kontur, dan cuaca di sekitarnya. Oleh karena itu, bagi setiap pendaki yang akan menaklukkan gunung yang tinggi, perlu ada persiapan baik secara fisik, mental, maupun dari kesiapan medis untuk menghindari risiko yang dapat berakibat fatal.Â
Risiko Tinggi
Sayangnya, masih banyak pendaki yang meremehkan bahaya kesehatan saat mendaki gunung tinggi, sehingga risiko tragedi di pegunungan tetap tinggi. Salah satu faktor utama adalah minimnya pemahaman tentang AMS dan hipotermia. Banyak pendaki yang tidak mengenali gejala awal kedua kondisi ini, sehingga mereka sering terlambat mendapatkan pertolongan yang tepat. Selain itu, kurangnya peralatan yang memadai juga menjadi penyebab utama. Pakaian yang tidak tahan dingin, tenda yang kurang mampu menahan angin kencang, serta sleeping bag yang tidak sesuai standar dapat mempercepat terjadinya hipotermia. Terutama di gunung dengan cuaca ekstrem seperti Cartensz.
Tak hanya itu, banyak ekspedisi yang masih mengabaikan protokol darurat. Tidak semua pemandu memiliki pelatihan medis yang cukup. Bahkan beberapa ekspedisi tidak dilengkapi dengan oksigen portabel atau obat pencegah AMS, seperti acetazolamide. Situasi ini semakin memperburuk kemungkinan bertahan hidup jika ada pendaki yang mengalami kondisi gawat darurat di ketinggian.
Kesalahan terbesar yang sering terjadi adalah anggapan bahwa mendaki hanya soal kekuatan fisik dan mental. Padahal kesiapan medis juga sama pentingnya. Tanpa pemahaman yang baik tentang risiko kesehatan, perlengkapan yang tepat, serta rencana evakuasi darurat yang jelas, pendakian ke gunung tinggi bisa berubah dari petualangan menjadi bencana. Oleh karena itu, edukasi dan persiapan yang matang harus menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap ekspedisi ke gunung tinggi.
Hipotermia dan AMS
Gunung Cartensz di Papua dikenal sebagai gunung bersalju tropis dengan cuaca ekstrem yang sulit diprediksi. Keindahan dan tantangan yang ditawarkannya menjadikannya tujuan favorit para pendaki. Akan tetapi, medan yang berat dan suhu yang menusuk menjadikannya salah satu gunung paling berbahaya di Indonesia. Dua ancaman utama yang sering dihadapi pendaki di ketinggian ini adalah hipotermia dan AMS yang keduanya dapat berujung fatal jika tidak ditangani dengan tepat.
Hipotermia terjadi ketika suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35°C akibat paparan dingin ekstrem, angin kencang, serta pakaian dan perlengkapan yang tidak memadai. Gejalanya sering kali dimulai dengan menggigil, kebingungan, dan rasa lemas, yang kerap diabaikan hingga akhirnya berkembang menjadi kondisi kritis. Jika tidak segera tertangani, hipotermia dapat menyebabkan gangguan fungsi organ, kehilangan kesadaran, dan bahkan kematian.
Sementara itu, AMS terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen (O2) di ketinggian. Pada ketinggian di atas 3.000 mdpl, tekanan udara menurun dan kadar O2 semakin berkurang. Sehingga memicu gejala seperti pusing, mual, dan sesak napas. Jika terus memburuk, AMS dapat berkembang menjadi edema paru atau edema otak—kondisi berbahaya akibat penumpukan cairan di paru-paru atau otak. Edema paru menyebabkan sesak napas hebat, sedangkan edema otak ditandai dengan kebingungan, lemas, pusing, hingga penurunan kesadaran.
Yang sering tidak disadari, hipotermia dan AMS dapat saling memperburuk kondisi tubuh. AMS melemahkan sistem fisiologis dan menghambat mekanisme tubuh dalam mengatur suhu, sementara hipotermia memperlambat respons tubuh terhadap gejala AMS. Kombinasi keduanya menjadi ancaman mematikan bagi pendaki yang tidak memiliki persiapan fisik dan perlengkapan yang memadai. Oleh karena itu, pemahaman akan risiko ini serta strategi pencegahan yang tepat sangat penting bagi siapa pun yang ingin menaklukkan puncak Cartensz.
Ilmu Wajib untuk Pendaki
Travel medicine seharusnya menjadi bagian penting dalam persiapan setiap pendaki sebelum melakukan perjalanan ke gunung tinggi. Untuk mengurangi risiko kesehatan, beberapa langkah dapat dilakukan. Seperti screening kesehatan sebelum mendaki, di mana pendaki dengan riwayat penyakit kronis seperti hipertensi atau asma harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Selain itu, aklimatisasi yang cukup sangat penting, dan dapat dilakukan dengan metode “climb high, sleep low“. Tujuannya agar tubuh lebih mudah beradaptasi dengan ketinggian.
Edukasi juga harus menjadi bagian wajib bagi pendaki dan pemandu, sehingga mereka memahami tanda-tanda awal AMS dan hipotermia serta cara menanganinya. Tak kalah penting, ekspedisi ke gunung tinggi harus dilengkapi dengan peralatan medis standar. Termasuk oksigen portable, pulse oximeter, serta obat-obatan seperti acetazolamide untuk mencegah dan menangani masalah kesehatan akibat ketinggian.
Regulasi dan Standarisasi Keamanan
Tragedi Cartensz seharusnya menjadi wake-up call bagi komunitas pendaki dan operator ekspedisi di Indonesia untuk meningkatkan keselamatan pendakian. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain standarisasi operasional bagi operator tur pendakian. Di mana setiap ekspedisi ke gunung tinggi harus memiliki protokol medis dan peralatan keselamatan yang jelas. Selain itu, pelatihan dasar tentang travel medicine bagi pemandu pendakian sangat penting agar mereka memahami cara menangani kondisi darurat seperti hipotermia dan AMS di lapangan. Tak kalah penting, perlu adanya protokol darurat yang lebih baik. Termasuk sistem komunikasi yang memadai serta akses evakuasi medis yang cepat, guna meminimalkan risiko dan meningkatkan keselamatan pendaki.
Tragedi Cartensz bisa menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa mendaki gunung bukan hanya soal fisik, tetapi juga kesiapan medis yang matang. Setiap pendaki, komunitas outdoor, hingga pemerintah harus berperan dalam meningkatkan edukasi dan standar keselamatan di gunung-gunung tinggi Indonesia.
Di sisi akademis, institusi seperti Universitas Airlangga (UNAIR berperan dalam riset dan edukasi terkait travel medicine, memberikan wawasan berbasis ilmiah untuk mendukung keselamatan perjalanan ke daerah ekstrem. Hadirnya program studi S-1 dan profesi Kedokteran di Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran, dan Ilmu Alam di Universitas Airlangga Banyuwangi dengan program unggulan di bidan travel medicine merupakan langkah strategis untuk menghimpun kajian berbasis bukti tentang kesehatan pelancong, termasuk keselamatan kesehatan pendaki.
Penulis: Muhammad Nazmuddin (Koordinator Program Studi S-1 Kedokteran Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran, dan Ilmu Alam Universitas Airlangga)