Mengamati keanekaragaman hayati dalam ekosistem perairan merupakan tantangan yang penting untuk menjawab permasalahan lingkungan global. Dalam bidang ini, penggunaan DNA lingkungan (environmental DNA atau eDNA) telah menjadi terobosan signifikan. DNA lingkungan adalah bahan genetik yang terkumpul di air dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai organisme dalam suatu ekosistem. Informasi ini memberikan wawasan penting tentang keanekaragaman dan kelimpahan spesies yang ada, tanpa harus menangkap atau mengganggu hewan-hewan tersebut. Teknologi ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi spesies akuatik hanya melalui jejak genetik yang dilepaskan ke badan air, seperti sisik, lendir, atau kotoran. Dengan metode metabarcoding, eDNA membantu memetakan keanekaragaman hayati dengan cara yang tidak merusak lingkungan tanpa menangkap spesies target. Namun, seperti banyak inovasi lainnya, biaya tinggi dan kerumitan teknis menjadi kendala utama penerapan eDNA secara luas, terutama di negara-negara berkembang. Salah satu tahap krusial dalam metode ini adalah proses ekstraksi DNA. Kit komersial yang sering digunakan umumnya memerlukan biaya tinggi karena menggunakan bahan kimia yang mahal.
Penelitian terbaru ini memperkenalkan metode ekstraksi eDNA berbasis guanidine hydrochloride (GuHCl) sebagai alternatif yang lebih hemat biaya dibandingkan kit komersial. Metode ini menawarkan peluang baru dalam penelitian konservasi dan pemantauan biodiversitas secara skala besar, terutama di daerah dengan sumber daya terbatas. GuHCl menjadi solusi inovatif karena tidak hanya menekan biaya, tetapi juga meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi spesies ikan berpopulasi rendah, terutama di ekosistem air tawar.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel air dari dua lokasi di Sungai Porong, Jawa Timur: satu di segmen air tawar dan satu lagi di segmen air payau dekat muara. Sampel dari kedua lokasi ini kemudian dianalisis menggunakan dua metode ekstraksi DNA yang berbeda, yakni protokol GuHCl dan Qiagen DNeasy Blood and Tissue Kit sebagai pembanding. Analisis DNA dilakukan dengan primer MiFish yang dirancang untuk mengidentifikasi DNA ikan dari fragmen gen 12S rRNA dalam mitokondria.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa protokol GuHCl mampu mendeteksi lebih banyak spesies ikan di air tawar dibandingkan Qiagen. Sebanyak 20 spesies ikan berhasil teridentifikasi dengan metode GuHCl, sedangkan Qiagen hanya mendeteksi 9 spesies. Spesies yang teridentifikasi oleh metode GuHCl termasuk ikan berpopulasi rendah seperti Notopterus notopterus dan spesies invasif seperti Gambusia affinis. Deteksi dini spesies invasif sangat penting karena memungkinkan tindakan pencegahan sebelum spesies tersebut menyebar lebih luas dan mengancam ekosistem lokal. Selain itu, kemampuan mendeteksi spesies langka seperti N. notopterus, yang dilindungi di Indonesia, menjadi nilai tambah metode ini.
Namun, di air payau, metode Qiagen menunjukkan performa yang lebih baik, mendeteksi 24 spesies dibandingkan dengan 16 spesies oleh GuHCl. Penurunan kinerja GuHCl di air payau kemungkinan disebabkan oleh tingkat penghambatan reaksi PCR yang lebih tinggi, yang dipengaruhi oleh salinitas tinggi dan kehadiran senyawa alami seperti tanin dari mangrove. Inhibitor alami ini sering mengganggu aktivitas enzim DNA polimerase, yang penting dalam amplifikasi genetik.
Meskipun memiliki kelemahan pada sampel air payau, penelitian ini menunjukkan bahwa protokol GuHCl menawarkan keunggulan besar dalam mendeteksi spesies di ekosistem air tawar dengan sensitivitas yang lebih tinggi. Selain itu, dari segi efisiensi biaya, metode ini jauh lebih ekonomis, sehingga cocok untuk studi biodiversitas skala besar, terutama di negara berkembang. Sensitivitas terhadap spesies berpopulasi rendah juga menjadi keunggulan, yang relevan untuk konservasi spesies yang terancam atau invasif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hasil kelimpahan relatif antara kedua metode sangat mirip, dengan korelasi positif yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa protokol GuHCl dapat digunakan untuk menghitung biomassa relatif spesies dari sampel air, memberikan gambaran yang akurat tentang komposisi komunitas ikan dalam suatu ekosistem.
Dalam dunia yang semakin terdampak oleh perubahan iklim dan hilangnya habitat, teknologi yang dapat menjembatani kesenjangan antara biaya dan kebutuhan data sangat dibutuhkan. Protokol GuHCl menawarkan harapan baru bagi konservasi berbasis data genetik, sekaligus mendemokratisasi akses terhadap teknologi canggih di negara-negara dengan sumber daya terbatas. Namun, untuk meningkatkan kinerja protokol ini di ekosistem air payau, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memitigasi pengaruh inhibitor alami. Pendekatan seperti menggunakan enzim yang lebih tahan terhadap inhibitor atau menambahkan bahan tambahan seperti dimetil sulfoksida (DMSO) ke dalam reaksi PCR dapat membantu mengurangi hambatan. Dengan perbaikan lebih lanjut, protokol ini memiliki potensi untuk menjadi standar global dalam penelitian eDNA. Penelitian ini tidak hanya menjawab tantangan teknis, tetapi juga menawarkan solusi praktis untuk mendukung konservasi global. Dengan inovasi seperti ini, kita bisa memetakan keanekaragaman hayati lebih baik, melindungi spesies langka, dan mencegah penyebaran spesies invasif—semuanya dengan cara yang terjangkau dan efisien.
Penulis: Muhammad Hilman Fu’adil Amin
Tulisan detail terkait artikel ini dapat dilihat dalam publikasi kami di: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2215016124004710
Baca juga: Bakteri Penghasil Hormon Pertumbuhan dari Mangrove sebagai Kandidat Penyusun Pupuk Hayati